Pendaftaran santri baru

Assalamu’alaikum,
monggo yang punya putra/putri, adik, keponakan, tetangga, yang ingin belajar di PP. Darut Taqwa Purwodadi, silahkan mendaftar pada link berikut ini:
Pondok ~> http://bit.ly/ponpesduta
MTs ~> http://bit.ly/mtsdaruttaqwa
MA ~> http://bit.ly/daftarMAdaruttaqwa

Sugeng siyang,ampun lupa shalawatan
🙏🤗

Hasil Bahtsul Masaa’il Putri JP3M

Hasil Keputusan Bahtsul Masaail Putri (BMP) dalam rangka Harlah JP3M Nusantara di PP. Al Mubaarok yang disusun oleh:
1. Ning Mila Minhatul Maula, Grobogan Jateng
2. Ning Nur Amiroh, Grobogan Jateng
3. Nyai Hj. Amaliyah Mukmilah, Lirboyo Kediri Jatim
4. Ning Hj. Sheila Hasina, Lirboyo Kediri Jatim
5. Nyai Farida Fatih, Kab. Semarang Jateng
6. Ning Imaz Fatimah, Kediri Jatim
7. Ning Ummy Atika, Kota Kediri Jatim dll
8. Ning Aida Fahmi, Jogjakarta

Wonosobo, 14 Desember 2021.

SOSIOLOGI HUKUM IBN KHALDUN

(Fungsi Sosial Manusia Sebagai Instrumen Asasi Hukum)

Dalam sosiologi hukum, kita kenal beberapa tokoh yang menjadi peletak dasar sosiologi hukum itu sendiri, yaitu Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa mereka merupakan pendiri sosiologi hukum dan biasa disebut dengan para sosiolog masa klasik. Ketiganya merupakan sosiolog bangsa Barat yang lebih condong dalam pemikiran atheis. Sedangkan dari ilmuan muslim sendiri jauh sebelum ketiga diatas, terdapat beberapa nama yang salah satunya adalah Ibn Khaldun.

Ibn Khaldun mencetus pemikiran baru yang menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri. Ia bernama lengkap Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun yang lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.

Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber, memulai sosiologinya dengan mempelajari masyarakat modern dimana masyarakat yang dikenalnya hanyalah masyarakat Barat dan sistem kapitalismenya. Masalah utama yang dihadapi Durkheim adalah menjaga dan melestarikan sebuah komunitas dalam kondisi modern, baik sebagai prasyarat integrasi soisal bagi masyarakat maupun sebagai syarat untuk kehidupan sosial yang bermakna bagi perorangan. Sedangkan Karl Marx memasalahkan kondisi kehidupan yang tidak menusiawi dari kelas pekerja dalam masyarakat modern. Di sisi lain, Weber menekankan pada proses rasionalisasi sebagai ciri modernisasi yang digambarkannya sebagai terwujud dalam bentuk organisasi birokrasi.

Berbeda dengan para sosiolog hukum lainnya, Ibn Khaldun memulai perjalanannya dalam ranah sosiologi dari sisi historigrafi. Dengan latar belakang seorang Muslim, Ibn Khaldun mengaplikasikan al-naqd fi tamhish al-hadits (daya kritis yang kerap dipakai dalam pembuktian validitas transmisi hadits) dalam proses validasi historiografi. Namun lebih dari itu, bahwa sejarah juga harus dipahami sebagai sebuah proses yang menyampaikan informasi berkaitan dengan sebab-musabab kejadian sebuah peristiwa. Kajian sejarah juga harus mau menyajikan anasir-anasir yang mendukung dan menghambat pergerakan sebuah peradaban yang telah lewat. Dari sisi historigrafi ia menulusuri rekonstruksi peradaban Islam yang terjadi dimasa pendahulunya untuk mendapatkan hukum-hukum yang relevan.

Pada akhirnya, gagasan-gasan Ibn Khaldun dalam kajian historiografi mengarah pada satu tujuan, yaitu berupaya menanamkan sebentuk kesadaran yang disertai sebuah kemampuan dan kemauan untuk menempatkan entitas sejarah sebagaimana eksistensinya dalam sejarah sebagaimana sebenarnya berjalan dan sejarah yang menjadikan studi sosial sebagai topik utamanya. Dari sini lah kemudian Ibn Khaldun berbicara mengenai sosiologi dan aturan-aturan yang mengikat pada suatu komunitas sosial.

Untuk itu, penulis tertarik mengangkat pemikiran Ibn Khaldun yang notabenenya seorang sosiolog muslim yang jarang dibahas dalam buku-buku sosiologi hukum pada umumnya. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan disajikan pemikiran Ibn Khaldun dari aspek kemasyarakatan yang merupakan subjek sekaligus objek dari hukum itu sendiri.

  1. Latar Belakang Ibn Khaldun

Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Yaitu ketika Khalifah Abbasiyah diambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah.

Sekalipun terlahir dalam masa kemunduran peradaban Islam, Ibn Khaldun justru besar dan tumbuh dalam suasana intelektual berkat didikan sang ayah, Muhammad. Ayahnya adalah penganut taat madzhab Maliki dan berguru langsung terhadap salah satu fuqaha Maliki bernama Abu Abdillah al-Zabidiy. Seorang pakar fikih otoritatif madzhab Maliki pada zamannya.  Pendidikan yang diterima dari ayahnya inilah yang banyak mempengaruhi sisi religiusitas seorang Ibn Khaldun. Layaknya penganut madzhab Maliki lainnya, pemahaman keagamaan Ibn Khaldun lebih banyak didominasi oleh gaya epigonisme.

Kepada ayahnya, Ibn Khaldun banyak belajar mengenai kajian-kajian fikih, utamanya fikih madzhab Maliki. Pun lebih memperdalamnya dengan berguru pada tokoh-tokoh lainnya. Penguasaannya yang mendalam atas kajian fikih madzhab Maliki inilah yang pada akhirnya mengantarkan Ibn Khaldun menduduki jabatan Qadhi al-Qudhat (hakim agung) sepanjang empat tahun. Sebuah jabatan yang menjerumuskan dirinya dalam kubangan konflik dengan para agamawan Mesir. Fanatisme madzhab dan ketundukan atas tradisi (epigonisme) menjadi demikian kentara dalam sosok Ibn Khaldun dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar fikih.

Pemahamannya atas kajian filsafat, nyatanya memberikan kontribusi yang positif bagi kemampuan intelektualnya. Alih-alih menerima filsafat tanpa reserve, Ibn Khaldun banyak memberikan “catatan” bagi konsepsi-konsepsi filsafati. Ibn Khaldun, layaknya al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, pun mengalami fase meragu-kritis (al-Syakk al-Naqdiy) atas beberapa ajaran filsafat. Jika al-Ghazali meragu pada kemampuan akal untuk bisa merengkuh kebenaran sejati (al-Haqq), dan saat Ibn Taymiyyah gamang pada keabsahan “al-kulliyyât al-‘aqliyyah al-‘ammâh“, maka Ibn Khaldun tidak meyakini klaim filosof yang mendaku mengetahui segala sesuatu dengan perantaraan silogisme Yunani. Bagi Ibn Khaldun, rumusan-rumusan logika formal ala Aristoteles yang begitu dipedomani oleh para filosof Islam, pada banyak aspek, berseberangan dengan kebenaran alami yang bersumberkan kemampuan inderawi.

Ibn Khaldun dengan tegas menafikan keabsolutan kebenaran yang berdasar pada kaidah mantik. Penafian ini berdasar pada fakta bahwa kesesuaian antara konklusi (natijah) sebuah tindakan silogikal dengan output persepsi inderawi tidaklah meyakinkan; sebatas dugaan semata. Fase meragu inilah yang menjadi pondasi bagi idealitas madzhab empirisme yang diimani oleh Ibn Khaldun.

Sebagaimana al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, perlawanan terhadap hegemoni logika klasik Aristoteles pun dilakukan oleh Ibn Khaldun. Hanya saja, Ibn Khaldun menjadikan perlawanannya atas mantik (yang terepresentasikan dalam konsep syakk
naqdiy-nya) sebagai titik tolak sekaligus inspirasi bagi upayanya dalam melakukan pembahasan atas kajian fenomena sejarah. Inilah yang membedakannya dengan para sarjana Muslim klasik lainnya yang hidup sebelum Ibn Khaldun.  Para sarjana klasik Muslim sebelum Ibn Khaldun lebih banyak menggunakan “desakralisasi mantik” sebagai spirit pembaruan dan inovasi dalam diskursus seputar fikih dan kalam. Ia menyodorkan satu tesis bahwa sejarah tidak hanya sekadar penceritaan ulang atas peristiwa yang terjadi di masa silam.

Namun lebih dari itu, bahwa sejarah juga harus dipahami sebagai sebuah proses yang menyampaikan informasi berkaitan dengan sebab-musabab kejadian sebuah peristiwa. Kajian sejarah juga harus mau menyajikan anasir-anasir yang mendukung dan menghambat pergerakan sebuah peradaban yang telah lewat. Di dalam hal ini, terlihat Ibn Khaldun tengah masuk dalam sebuah kajian baru yang dalam era kontemporer, kita mengenalnya sebagai kajian filsafat sejarah yang oleh banyak sarjana Barat disematkan kepada filsuf berkebangsaan Italia, Vico.

Hebatnya, di tangan Ibn Khaldun, kajian historiografi mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan. Historiografi, galibnya, layaknya di benak para historian (sejarawan) klasik macam al-Thabari dan al-Mas’udiy selalu saja bermakna penceritaan ulang atas kisah-kisah nabi dan para raja. Para historian klasik menghabiskan berjilid-jilid kertas hanya untuk bercerita tentang keluarga raja dan para keturunannya. Sebagai deskripsi lanjutan, dapat penulis ketengahkan di sini komparasi model-model metode historiografi yang dianut oleh beberapa sejarawan klasik. Al-Thabari dalam pengantar buku sejarahnya yang klasik itu, Tarikh al-Umam wa al-Muluk menjelaskan bahwa dia hanya mencukupkan diri dengan menyalin secara utuh sebuah peristiwa tanpa disertai kritisisme atas transmisi dan redaksi. Sementara Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn al-Mas’udiy dalam pengantar untuk buku sejarahnya yang berjudul Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al-Jawahir
fi al-Tarikh, sedikit banyak telah melakukan terobosan baru dengan menyertakan nalar kritis dalam setiap penerimaannya terhadap sejarah.

Dan pada akhirnya, Ibn Khaldun menyodorkan alternatif dengan menjadikan historiografi lebih memfokuskan diri pada sejarah masyarakat dan peradabannya seraya menginformasikan konstruksi sebuah peristiwa dan sebab-akibatnya. Lebih dari itu, Ibn Khaldun (dengan tanpa mengurangi apresiasi pada historian generasi pertama macam Ibn Ishaq, al-Thabari dan al-Mas’udiy) mengecam keras madzhab narativisme (al-târîkh al-washfiy) yang menjadi mainstream para historian Muslim terdahulu.

Kegeraman Ibn Khaldun pada madzhab narativisme memang beralasan. Terlebih gaya narativisme ini lebih didominasi oleh ketundukan pada sumber data dan fakta historis. Para sejarawan klasik gagal dan enggan melakukan verifikasi terkait dengan data dan fakta historis. Dalam analisa Ibn Khaldun, kegagalan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pencukupan atas data dan fakta historis yang tersedia dalam lingkup madzhabnya. Kedua, kepercayaan berlebihan terhadap narasumber. Ketiga, kegagalan memahami motif sebuah persitiwa sejarah. Keempat, keberpihakan yang kental pada tokoh-tokoh besar. Kelima, ketidakmampuan dalam memahami karakteristik sebuah komunitas. Kritik pedas Ibn Khaldun juga terlontar kembali kepada sederetan sejarawan klasik semodel Ibn Hisyam, Ibn Ishaq, al-Waqidiy, al-Baladzariy, Ibn Abdul Hakam al-Mishriy, al-Thabariy, al-Mas’udiy dan Ibn al-Atsir. Oleh Ibn Khaldun, mereka semua dianggap tidak dapat mensterilkan kajian historiografi sebagaimana yang termanifestasikan dalam buku-buku sejarah karya mereka dari mitos dan takhayul. Bagi Ibn Khaldun, buku sejarah yang ideal adalah buku yang enggan memuat cerita rekaan, mitos, dan khurafat. Bahkan, buku sejarah harus sepi dari cerita-cerita yang berlawanan dengan karakteristik masyarakat sekalipun.

Selain melakukan kritik, Ibn Khaldun tercatat melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan dalam buku-buku sejarah klasik. Sebagai misal, Ibn Khaldun menganggap data yang menyebutkan secara pasti angka tentara Bani Israil dan pengikut Musa dalam buku sejarah karangan al-Mas’udi sebagai kabar yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Ibn Khaldun berpendapat, informasi itu menyesatkan karena informasi tersebut terkait dengan jumlah bilangan. Kemudian ada al-Bakriy yang menceritakan sebuah mitos tentang keberadaan satu kota yang memiliki 10.000 gerbang. Cerita ini pun diyakini oleh Ibn Khaldun sebagai rekaan semata karena tidak adanya persesuaian dengan karakter masyarakatnya.Bagi Ibn Khaldun, aspek posibilitas dan imposibilitas sebuah sejarah dapat dibuktikan dengan pengetahuan yang memadai terhadap fenomena riil dan pemahaman secara mendalam agar dapat menemukan ciri khasnya serta sejauh mana tingkat kenisbiannya.

Di sini, terlihat Ibn Khaldun tengah menawarkan sebuah metode penceritaan sejarah yang lebih elegan bila disandingkan dengan madzhab narativisme. Metode yang dalam dunia historiografi kontemporer dikenal dengan metode strukturalisme; sebuah anti tesa atas metode narativisme. Dengan mengimani metode ini, Ibn Khaldun hendak menyampaikan kepada publik bahwa kajian sejarah yang ideal harus berdiri pada sebuah pondasi utama, yaitu upaya menyibak motif keberlangsungan sejarah. Dengan berpijak atas platform tersebut, akan dapat diketahui bahwa dalam setiap proses sejarah manapun terdapat kaidah-kaidah historis bersifat universal dan parsial. Selebihnya, sejarawan juga  tidak hanya merasa cukup dengan kekayaan data dan fakta historis semata, namun punya kewajiban untuk memahami perangkat-perangkat lain sebagai alat bantu dalam proses penulisan sejarah.

2. Konsep Pemikiran Ibn Khaldun


Berawal dari keprihatinan terhadap sikap permisifisme para historian Muslim klasik yang tidak melakukan verifikasi data dan redaksi dalam kajian historiografi karena para sejarawan klasik buta dengan fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, Ibn Khaldun bersentuhan dengan masalah sosial. Keterbatasan historian Muslim atas modal pemahaman yang kuat atas karakteristik sebuah komunitas masyarakat menjadi penyebab kurang utuhnya dalam merekonstruksi suatu sejarah peradaban-peradaban Islam. Mereka mengkaji fenomena sebuah peradaban hanya dengan sekadar mendeskripsikannya, menganjurkan untuk menirunya atau bahkan memberikan gambaran dasar yang terkadang terkesan utopis. Bukan menganalisanya sehingga mampu menyibak  tabiat atau karakter serta kaidah-kaidah yang eksis dalam peradaban tersebut.

Oleh karenanya, Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan idealnya berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri (Sui Generis). Satu disiplin ilmu yang belakangan dikenal dengan nama ilmu sosiologi. Berdasar fakta tersebut, banyak kalangan menganggap Ibn Khaldun sebagai “Bapak Ilmu Sosiologi”; jauh sebelum filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857) melakukannya.

Selain itu, keyakinan Ibn Khaldun pada gerak evolusi pada peradaban sebagai sebuah keniscayaan juga ikut berpengaruh dan membantu Ibn Khaldun dalam merumuskan teori-teori baru berkenaan dengan fenomena sosial kemasyarakatan. Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu karakteristik fenomena sosial kemasyarakatan tidak bergerak linear, apalagi monoton. Ia akan punya banyak varian terkait dengan ragam masyarakatnya. Bahkan akan mengalami ketidaksamaan pula, sekalipun dalam satu komunitas, jika terdapat perbedaan kurun dan waktu. Jika demikian, adalah sebuah kemustahilan terjadinya persamaan di dua komunitas dalam fenomena-fenomena sosial kemasyarakatannya.

Ibn Khaldun melandaskan kajian sosiologinya pada observasi atas fenomena masyarakat dalam sebuah bangsa atau negara, baik tingkat rawan konfliknya, korelasi dengan generasi sebelumnya dengan menganalisa beberapa ciri mendasar, yang juga mencakup interrelasi dan jalinan komunikasi. Untuk itu, Ibn Khaldun memformulasi metode sosiologinya pada dua tahapan. Pertama, studi empirik-induktif-historik (yang terejawantahkan dalam obervasi). Kedua, analisa mendalam guna menghasilkan konklusi berupa kaidah-kaidah. Maka dari itu, Ibn Khaldun lebih menekankan pada fenomena masyarakat sebagai sesuatu  (entitas) yang eksis dan riil. Konsep Ibn Khaldun tersebut di kemudian hari menjadi pokok bagi madzhab Positivisme yang diimani oleh Auguste Comte dan Emile Durkheim. Dalam aliran Positivisme, fenomena masyarakat ditempatkan sebagai entitas riil, bukan sebagai “sesuatu” yang abstrak.

Dalam terobosannya, Ibn Khaldun mencoba mengkaji entitas masyarakat  (peradaban) serta karakteristik yang melingkupinya. Baginya, entitas sebuah masyarakat dapat disingkap dengan menggunakan tiga piranti. Pertama, sebab-sebab kemunculan masyarakat. Kedua, pengaruh kondisi geografis pada proses pembentukan fisik maupun non fisik. Ketiga, pengaruh kekuatan metafisika terhadap kehidupan masyarakat. Dalam menelisik faktor pendorong kemunculan masyarakat, Ibn Khaldun mengawalinya dengan mengutip postulat Aristoteles yang menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia merupakan makhluk politik. Dengan politik manusia berupaya agar dapat bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mempertahankan diri.

Senada dengannya, Karl Marx menyatakan dengan teorinya bahwa masyarakat ialah susunan sosial dalam roduksi materiel merupakan dasar bagi seluruh kehidupan kemasyarakatannya. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonisstis. Dalam pandangannya, watak dasar ini ditentukan oleh hubungan konflik antara kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya terkadang bertentangan. Demikian juga Emile Durkheim yang memandang konflik kelas sebagai ciri kehidupan masyarakat modern. Ia menganggapnya sebagai suatu patalogi sosial yang dapat disembuhkan melalui perombakan sosial. Oleh karena itu, menurutnya masyarakat dapat dikelola sedemikian rupa sehingga tidak terjadinya konflik diantara masyarakat dengan cara membuat dan memberlakukan hukum dan aturan yang mengikat masyarakat tersebut.

Konklusi semacam itu yang belum diungkap oleh para sarjana lain sebelum Ibn Khaldun. Kecenderungan materialisme dalam diri manusia mengakibatkan munculnya kesadaran bahwa mereka (manusia) tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa peran serta dari yang lain. Hal ini juga sependapat dengan Karl Marx bahwa nilai tertinggi yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya salah satunya adalah rasa kesadaran bahwa ia ada. Dan pada akhirnya, kesadaran untuk saling membantu melahirkan banyak varian peran kehidupan yang dapat dijalankan oleh masing-masing manusia agar saling melengkapi satu sama lainnya. Dampak langsung dari ragam fungsi sosial manusia sebagai instrumen asasi peradaban adalah terjadinya kesepakatan berupa aturan-aturan yang mengikat mereka semua.

Aturan-aturan tersebut dikodifikasi menjadi sebuah hukum yang diberlakukan kepada masyarakat. Hukum yang memang dibuat untuk melindungi masyarakat menjadikan masyarakat berperan menjadi lakon subjek sekaligus objek dari hukum itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat menduduki posisi sentral dalam hukum. Setiap kelompok masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual antara standar dan yang praktis.

Fungsi hukum disini ialah untuk menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sesuatu yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi dari masyarakat itu sendiri.

Tak luput dari bidikan Ibn Khaldun adalah kajiannya terhadap fenomena sosial dengan mengambil sudut pandang pada kaidah-kaidah dan persepsi universal yang menjadi pokok dan dasar dalam pengaturan masyarakat serta kohesi sosial. Salah satu kaidah tersebut adalah kaidah yang berkenaan dengan konstruksi atau struktur luar masyarakat. Kaidah inilah yang oleh madzhab Emile Durkheim disebut sebagai “La Morphologie Sociale” yang diklaim diperkenalkan oleh Durkheim. Secara substantif, tesis itu bukanlah barang baru. Terlebih Ibn Khaldun telah mengintrodusirnya jauh-jauh hari dalam Muqaddimah-nya.

Ibn Khaldun juga mampu mendeskripsikan dengan akurat sejarah perkembangan masyarakat (peradaban). Bagaimanapun model konstruksi peradabannya, dalam benak Ibn Khaldun, ia takkan terlepas dari konsep sejarah perkembangan masyarakat yang dicetuskannya. Olehnya, sejarah perkembangan masyarakat dipetakan menjadi tiga tahapan. Yang paling natural adalah fase primitif atau nomaden (al-Tawahhusy), kemudian memasuki fase tradisional (al-‘Umran al-Badawi) dan terakhir, fase al-‘Umran al-Hadhariy (masyarakat sipil; sedentary societies). Umur ketiga fase tersebut, amat tergantung pada tingkat produktivitas perekonomiannya. Tak mengherankan, jika Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa syarat asasi bagi eksistensi sebuah masyarakat adalah adanya jaminan bagi hak milik individu sebagai manifestasi sistem perekonomian parsial. Berdasarkan pada konsep jaminan keamanan bagi hak milik individu, Ibn Khaldun membangun teori-teori ekonominya, utamanya teori tata negara dan politik.

Bagi Ibn Khaldun, jaminan atas hak milik individu dapat terlaksana jika sistem politik dalam masyarakat tersebut telah tersedia. Wujud dari berjalannya sistem politik-kekuasaan adalah adanya pemimpin yang kebijakannya melahirkan hukum yang dipatuhi oleh segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks peradaban masyarakat, sistem politik kekuasaan, terutama terkait dengan prosesi pengangkatan pemimpin mempunyai korelasi kuat dengan konsep ashabiyyah (fanatisme), selain kedua faktor lainnya yakni faktor ekonomi dan agama, terlebih jika tipe masyarakat tersebut adalah masyarakat tradisional (al-Mujtama’ al-Badawiy). Jabiri, dalam disertasinya yang berjudul al-‘Ashabiyyah wa al-Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikh al- Islâmî juga memberikan afirmasi yang senada. Dengan meminjam piranti “bawah sadar politik”-nya Regis Debray, Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa ada tiga hal penting di balik bangunan nalar politik Arab-Islam yaitu kabilah, akidah dan ghanimah. Bagi penulis, tiga faktor tersebut, sejatinya merupakan pengulangan atas konsep Ibn Khaldun walau dengan redaksi yang berbeda. Ibn Khaldun membahasakannya dengan ashabiyyah, al-da’wah al-diniyyah dan madzhab fil ma’âsy ghairat thabî’i.

Dengan mengacu pada konsep ‘ashabiyyah-nya, dia meyakini bahwa syarat klan Quraisy tersebut muncul karena seorang pemimpin membutuhkan legitimasi yang kuat dalam melaksanakan amanat undang-undang. Dan legitimasi politik saat itu hanya bisa diperoleh dari klan Quraisy yang notabene merupakan suku terkuat. Jika demikian, ketika dominasi tidak lagi berada di tangan Quraisy, maka faktor ‘ashabiyyah yang akan mampu menjadi determinannya.

KESIMPULAN

Dalam pemikirannya, Ibn Khaldun dapat disajikan dalam beberapa point sebagai berikut:

  • Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan idealnya berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri (Sui Generis). Satu disiplin ilmu yang belakangan dikenal dengan nama ilmu sosiologi. Berdasar fakta tersebut, banyak kalangan menganggap Ibn Khaldun sebagai “Bapak Ilmu Sosiologi”; jauh sebelum filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857) melakukannya.
  • Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu karakteristik fenomena sosial kemasyarakatan tidak bergerak linear, apalagi monoton. Ia akan punya banyak varian terkait dengan ragam masyarakatnya
  • Ibn Khaldun memformulasi metode sosiologinya pada dua tahapan. Pertama, studi empirik-induktif-historik (yang terejawantahkan dalam obervasi). Kedua, analisa mendalam guna menghasilkan konklusi berupa kaidah-kaidah. Maka dari itu, Ibn Khaldun lebih menekankan pada fenomena masyarakat sebagai sesuatu  (entitas) yang eksis dan riil.
  • Kecenderungan materialisme dalam diri manusia mengakibatkan munculnya kesadaran bahwa mereka (manusia) tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa peran serta dari yang lain yang pada akhirnya, kesadaran untuk saling membantu melahirkan banyak varian peran kehidupan yang dapat dijalankan oleh masing-masing manusia agar saling melengkapi satu sama lainnya. Dampak langsung dari ragam fungsi sosial manusia sebagai instrumen asasi peradaban adalah terjadinya kesepakatan berupa aturan-aturan yang mengikat mereka semua.
  • Wujud dari berjalannya sistem politik-kekuasaan adalah adanya pemimpin yang kebijakannya melahirkan hukum yang dipatuhi oleh segenap lapisan masyarakat.

Pada intinya, pemikiran sosiologi pada dasarnya bukan dari bangsa barat saja, melainkan dari dunia Islam. Jauh sebelum para sosiolog merumuskan pemikirannya, Ibn Khlaadun telah lebih dulu menemukan arah pemikirannya yang sangat sosiologis. Hanya saja, perhatian generasi muslim setelahnya kurang terhadap pemikirannnya dalam sosiologis. Meskipun demikian, masih banyak masalah-masalah sosiologi hukum, khususnya mengenai kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang masih kental dengan pengaruh kapitalisme dan kelas sosial di mata hokum Indonesia. Selain itu, banyaknya penyakit sosial yang merajai Indonesia meberi tugas tersendiri bagi para ahli hokum di Indonesia untuk mengikatnya dengan hukum dan mengelola agar terjadi keharmonisan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Masalah-masalah ini sebenarnya telah dibahas oleh beberapa tokoh di atas, namun, pada kesempatan ini penulis tidak mencantumkan karena keterbatasan waktu dan data.

DAFTAR PUSTAKA

Zaldy Munir, Ibnu Khaldun. Bapak Sosiologi Islam, yang dikutipanya dari Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970

A.A. Peters, Koesriani Siswisoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, jilid I, cet. I, 1988

Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 3

Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985

Mawhiburrahman, Membumikan Gagasan Ibn Khaldun (Sebuah Pembacaan atas Konsep Sosiologi dan Filsafat Sejarah), yang dikutipnya dari Thaha Husain, (2006), Falsafat Ibn Khaldun al-Ijtima’iyyah; Tahlil wa Naqd, Cairo: al-Hay’at al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989

Khaldun, Ibnu, Tentang Masyarakat dan Negara, Osman Raliby (terj), Jakarta: Bulan Bintang, 1978

Husain, Falsafat Ibn Khaldun al-Ijtima’iyyah; Tahlil wa Naqd, Cairo: al-Hay’at al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2006

Mishbah al-Amiliy, (1988), Ibn Khaldun; wa Tafawwuq al-Fikr al-‘Arabiy ‘ala Fikr al-Yunaniy bi Iktisyafi Haqa’iq al-Falsafah, Cet. I, Tripoli: al-Dar al-Jamahiriyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’ wa al-I’lan

WOMEN IN ISLAM

Intrinsically that woman is beautiful being created by the infinite. Without feminism and gender even also woman have been placed beneficial on course. Woman is religion pillar so that heaven reside in the its feet palm. Really have to be thanked goodness and at the same time always hold high to be always reside in each moslem family. Hince, can said that to destroy and collapse the nation situated at woman behavior.

 A matter which we do not suspect that Islam that way glorify the woman, from initialy creature which is the no worthing before ” human being civilization”, ridden over by a honour and its selfregard, next time lifted by Islam placed at place which should have been taken care of, esteemed, and glorified. Islam even also place the woman on course parallel and high with man.

Islam give the freedom for woman to activities without having to forget her  nature of character. If later, happened the displacement value at woman hence proper questioned is how far women can controlling its ability now?

            Allah specify the nuptials, ethics associate with in social interaction, until order hijab as action preventif from many damage. That is to take care of the woman selfregard. Islam is the first and the last legislation system to get the womankind in place most respectable, most beautiful and the best. According Islam woman is a intact human being and perfect as man clan in the case of creation, human, feeling and her rights.

Allah SWT have made a set law related with human being in position or the role as human being who have one rule not only for clan of man, but also for womankind. The meaning that taklif with rights and obligations of man and woman is same. Because, verse and hadis indicates determination of a law is  generally accepted for man and woman. For axample, Allah SWT saids in some verse:

QS Al-Ahzab 33:35,QS Al-Ahzab 33:36,QS An-Nahl 16:97, QS An-Nisa’ 4:124, QS Ali ‘ Imran 3:195, QS An-Nisa’ 4:7,  QS An-Nisa’ 4:32

Thereby, we can see that all of syariat law related to human being in position or the role as human being in every law, every type and every kinds of law. Allah SWT have explained that the basic of syariat law was just one and apply to man and woman too. The laws is the exclamation of Allah SWT which related deed of human being, such as at religious aspect are pray, fast, haji, and religious obligatory, at behavior aspect of syariat laws, at muamalat law like a matter of merchant,  rent ( ijarah), delegation ( wakalah), responsibility ( kafalah), and the like as taklif unity in care of man and woman.

Though al-Qur’an is side to status equivalence of between men and woman by normatif, but by kontekstual al-Qur’an is true express the existence of certain menfolk excess on the woman clan. So, some of intelectually moslem sue it. Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi, Amine of Wadud Muhshin, and Riffat Hasan are include feminism people who disagree with fiqh expanding during the time. Because, they have a notion that between woman and men have to be balanced the domicile and role. They disagree if woman have to under men and have the different rights and obligations. They mentioning some case for example. In order of witness and heir, for example, woman given by the a half price from men, in domesticity, the marry, talaq and ruju’, woman (wife) put down as object, while men (husband) as the subject. In coexistence Asghar take example about status of man (husband) as Qawwâmûn in Letter an-Nisâ’ sentence 34, woman in under by domination and power men who can’t business lead at home, in mosque, or in society.[1]

In this context, proportional the witness of two women with like the witness of a man in men community and in social life in generally, such as  witness in bearing with  some of certain rights (huquq) and muamalat.

Witness a women just can be accepted in case that happened in the centre of woman community. Witness a woman looked into enough in case which show just by woman or happened in the centre of womankind. According writer, this matter because of woman  have weak heart and more signalizing heart and feeling than logic. This represent the natural instinct had by woman majority in world.

Besides, Islam even also have specified the woman rights in context of division  half heritage from man rights in a few situation. (QS An-Nisa’ 4:11)

This matter is happened in ‘ ashabah like boy, brothers and sisters contain, and brothers and sisters father. Because, position woman in a state of a kind of this, its maintenace accomplishment become the its brother responsibility, though the woman or fakir can work. But that way, Allah SWT have specified part woman equal to man in some of certain situation. (QS An-Nisa’ 4:12 )

Allah SWT have specified the effort to provides as obligation a man. On the contrary, searching maintenace not specified as obligation to woman, but just mubah (may). If woman want, woman may do it and if woman dont want, she may doesn’t do it. Allah of SWT said:

Lets someone who able to provides according the ability. And someone who narrowed the rezki shall give the maintenace from estae given by Allah for him. Allah doesn’t shoulder the burden to someone but simply what Allah pass to him. Allah later will give the leisure after narrowness.(QS Ath-Thalaq 65:7)

           Its meaning, Allah have contended that to provides is obligation of man. Islam have specified the leadership business ( qawwamah) in household just destined to man (husband) on the woman (wife). The meaning is husband have the authority to control the leadership and also release the comand and  prohibition order in domesticity.

Thereby, Allah SWT have explained that leadership in household represent the  man authority. Because of Him have specified as excess to them in its bearing with a number of  taklif, like: power in governance, the leader of pray, proxy in nuptials, and rights drop the talak in divorce. Allah of SWT said, as told in verse above.

About this leadership shown also by existence of taklif to the man shoulder ( all husband) to give the dowry and  provides.

More than that, Allah SWT also specify the existence of rights for a husband to educate his wife by giving good advice, dissociating the badroom, or beat her with the blow which do not hurting as according to sin rate (violation) which she doing. This attitude if wife does disaffected, immorality, or contradiction to husband. On the contrary, Allah SWT have contended that a wife have the right to suckle the child, boy child or daughter, while forbidden man for that. Allah SWT have also specified to rights woman to give the maintenace directly to the child if their father have never visited them or the father sharpen; while man, in a condition a kind of this, forbidden to do so directly. In this context, Hindun have visited the Rasulullah saw. Then she said, ” Yes Rasulullah actually, Abu Sufyan is very tight man. He never give the maintenace which enough to my child and myself.”

Then Rasulullah answer:

” Just Take his estae with the rate by polite which looked into enough for your self and your child.”

So then, Islam come by bringing a number various of law; special part for man and the other part addressed special for woman, to differentiating proportion of among both. Allah SWT  have commanded for both of them to would fain existence of the peculiarity laws. On the contrary, Allah SWT have prohibited to each behave other catty and grudge and also to think about of something given by Allah to the other. Allah of SWT said:

” And you don’t covet to what bestowed by Allah to some of you more than the other. To a man there is part of what they labour, and to all woman there is part of what they labour, and request to Allah some of His grant from above. In truth, Allah The most Know everything (omniscient)”.(QS An-Nisa’ 4:32)

Verse above representing peculiarity (takhshish) in decision punish, non effort  disappearance the existence of equevalence of gender. Because, verse above representing solution to the woman activity in the position as woman and resolving  to man activity in the position as man. Altogether have given solution pursuant to exclamation by Allah SWT which related with the activity of the slaves. If we study all of reality, will see clear that the laws represent the solution to the problem faced by human being.

That’s reality in fact from existence of equevalence applicable law to among man and woman in a number of law which different each other such as those which have been mentioned. In a condition anything, the laws have to be looked into as solution to the problem faced of the human being in general. The solution going into effect to man and woman, like studying; and or different solution to both of them, like the variety and difference of aurat among both. Existence of the difference dont be viewed as a discrimination form a human being to the other human being.

In the meantime, boldness which is there are in atsar that women have the insuffiency in mind and religion. That is only representing lean on to mind and religion, dont have a meaning of that they have the weakness mind and weakness religion. Because, by fitra, mind potency of  man and or woman is same. That way also religion  to each party seen from in perpective of belief in God and do the good deed. ‘Insuffiency or mind weakness’ such by the atsar is insuffiency or mind weakness in the case of witness, namely that witness two woman only proportional with the witness of a man. Meanwhile, ‘ insuffiency or religion weakness ‘, its intention is insuffiency of time pray at woman, namely at the time of they experience of the menstruation each month or when they get portutition after childbirth, and inexistence fast for them in Ramadhan  at the moment.[2]

Difference Of Men And Woman

From the description above, hence perceivable that Islam have specified to rights of womankind and have specified the obligations too. Islam even also have specified to rights of man and the obligations too. Resolving to the various activity of them relied on  a opinion that is represent the certain deed by somepeople. The solve will be same if the character a both of them need the same resolving. On the contrary, the solve will be different to them if there is a differ character a both of them.

For that, existence of difference on the stipulating punish between woman and men represent a natural experience. Because substantially, man and woman is different creature. Because, in gender perspektive, human have owning character ( different human character) one another. Therefore, Islam solution is certain addressed also peculiarly to human by certain gender (men or woman), not solely addressed to  generally human.

In Sirah Encyclopaedia compiled by Afzalur Rahman written, equation of men and woman in all of life aspect. But in the equation there are difference pursuant of the special role in life, cause of physiological difference, biology and psychology  between both of them. ( Afzalur Rahman, 1993 : 68).[3] From the difference, then induce at difference of role and the responsbility in the family and society.

But that way, existence of equality in a number of rights and obligations of among both non relied on there is or inexistence of equivalence aspect. That way also with the existence of difference in a number of rights and obligations in among both; is not seen from there is or inexistence of equivalence element. Because, Islam just only looking into community society, that are man and woman. By regard that as community of human being, not the other. In this context, one of the character from a community of society human being is the existence of clan man and womankind. Allah said:

” Hi all of human being, godly to your god  who have created  you from alone, and from to [him] Allah create the wife; and from both Allah breed the many men and woman. And godly to Allah who you have been asking for each other one another by His name, and relation of  silaturrahim. The acctually Allah always take care of and observe  you.” (QS An-Nisa’ 4:1)

“Hi human being, the really We create  you from a men and a woman and make you to be race and caste  so that youcan intruduce  each other.

In this case, we wish to find the best interaction trick among of man types and woman types by comprehending each person and comprehend the motivation which consisted in at the opposite of their behavior both. And also see how to each facing daily event and how far the affect of each with the event, as well as seenly pickings estimated by emerge from both moment face the contention live.

Nobody deny that there is sexual difference, physical, bouncing and mind of among both types of that. But the existence of this difference meaningless is existence of excess one on the other. The intention that woman is human person with the overall of meaning which implied in the human being word. They are also encumbered the obligation by Allah like a men, not just in religious service case but also in prosperous of His earth.

“Whomever doing pious charitable, of men and woman too in a state of believe, so in fact we Will pass to them a good life and in fact we Will give the reciprocation to  them with the better reward from they what have they  do” (QS. An-Nahl : 97)

In consequence, excess had someone of both to the other is not excess one type to the other type. However the excess only excess having the character of functional, men for example properly leading family, accounting burden of life responsibility, doing jihad, taking care of good and chattel, etc. While woman properly do the matronly duties, mothering child and family, arranging household etc. Although there is no different idea that woman can do many man work but that is not generally.

Allah create the human being, man and woman with a fitrah typical, different with the animal. Woman is human being within reason man. Each cannot be differentiated from humanism aspect. Each can’t to exceeding each other. Alllah have drawn up the two to played the life as according to boundary of humanism. Man and woman have been destined to coexist in a society. Allah also specifying the continuity clan of human being base on a both interaction the oposite gender. Therefore both of them have to be viewed as a human being, complete with all of excess and all of ability  to support their life.

Islam provide the esquire space to woman to become literate, educated, skillful, and give the role and also different responsibility in their life. And in each they respected and esteemed to what they do. Islam have given the exemplary woman role model and portray a street to be able respectablely to followed by the woman. For example:

  • Khadijah: A depicting woman buttonhole becoming strong proxy which do not depend at financial and as a very supporting wife of husband. Khadijah have the ability manajerial to control the commerce in the middle of emulation which strong so. Khadijah is properly made by example as a woman. She is a creative woman, very rich, wiraswasta, the first woman who enter the Islam. Beside beauty, she have the nature of social, brave, and lenient.[4]
  • Aisyah : Aisyah knowledge and deep perception in religious maters was so established that whenever the Companions of the Prophet found themselves in disagreement over anyreligious matter. They would come to her to seek her assistance. According to Abu Musa ‘Ashari whenever they were in any doubt as to the meaning of any part of the hadith, they would turn to Aisyah. It was seldom that she was unable to solve their problems.[5]
  • Fatimah : a woman becoming ideal woman role model beside as putri of prophet and wife from a khalifah (leader).[6]

From the clarification above, hence we get the conclusion that in fact Islam very respect with a woman. Woman have to domicile equivalent with the men. Woman have the same rights and obligations in Islam the good  of ubudiyah aspect and social aspect. But, despitefully, there is a boundary differentiating between men and woman because the basically of them is differ. The difference because of physiological difference, biologis and psychology which induce at difference of role and responsibility in family and society.

Allah have created the the difference as according to human being requirement. Existence of difference the not meaning that one of among others have the excess to the other. Because everyone of  both having typical excess.

And that difference just only having the character of functional. Of each them will not can to be able to owning all of the excess. For example a woman is imposible if can manage the household goodly at the same time earn life better also. On the contrary, men even also cannot become a good mother while good wage earner. Allah create the mentioned to be they equiping each other among one with other in the running life.

Therefore, there are a number of different law to the woman and men. Because, law represent a solution to problem faced by human being of according to the portion. That is solution to the activities woman in the role as woman and solution to the activities men in the role as men. The law maker is Allah by qath’i verses. And according science of ushul fiqh if the qath’i verses needn’t again diging the law decision because have clear mentioned in verse. Real Allah is the most wise and the omniscient.

But that is  non meaning that woman cannot be uppermost as men. like example of woman who have been explained above, like Khadijah, Aisyah and Fatimah. They have the street by themselves up at freedom which wish the them pursue.  So, go woman with your nature character!!!

REFERENCE

Anjar Nugroho, Rekonstruksi fiqh Perempuan: Membangun Fiqh berkeadilan Gender posted at 5 Agust 2007 in http://pemikiranislam.wordpress.com,  accessed at 6 April 2009

Abu Syuqqah, 1993, Jati Diri Wanita Menurut Al Qur’an dan Hadis, Bandung: Penerbit Al-Bayan.

Mai Yaman, 1996, Feminism and Islam: Legal & Literary Perspektive, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia.

Islamic Encyclopaedia, 2003,Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, vol.3

Maulana Wahiduddin Khan, 2000 Woman between Islam and Western Society, New Delhi: Nice Printing Press.

http://islamfeminis.wordpress.com/, accessed at 6 April 2009

http://saihusaavie.com/, accessed at 6 April 2009

http://www.islamfortoday.com/, accessed at 6 April 2009

http://islamfeminis.wordpress.com/,  accessed at 6 April 2009


[1] Anjar Nugroho, Rekonstruksi fiqh Perempuan: Membangun Fiqh berkeadilan Gender posted at 5 Agust 2007 in http://pemikiranislam.wordpress.com,  accessed at 6 April 2009

[2] Abu Syuqqah, Jati Diri Wanita Menurut Al Qur’an dan Hadis, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1993) p. 283

[3] Anjar Nugroho, Opcit

[4] Islamic Encyclopaedia  (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru van Hoeve, 2003). Vol.3, p. 31

[5] Maulana Wahiduddin Khan, Woman between Islam and Western Society (New Delhi: Nice Printing Press, 2000), p.148

[6] Mai Yaman, Feminism and Islam: Legal & Literary Perspektive, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 1996) p. 301

Atmospheric Extinction (Info Falak)

Pada suatu pengamatan benda langit terdapat beberapa hal yang mempengaruhinya, diantaranya yaitu kerendahan ufuk, refraksi, dan atmospheric extinction (ketiganya sangat berkaitan dan saling berhubungan satu dengan yang lain). Bagi dunia falak mungkin jarang mendengar istilah atmospheric extinction. Secara astronomi, atmospheric extinction merupakan pengurangan kecerahan suatu benda langit sebagai foton benda langit tersebut untuk menembus atmosfer kita. Dua mekanisme yang berbeda antara atmosfer dengan bumi (gas-padat) memberikan kontribusi kepunahan, yaitu penyerapan dan hamburan dari rediasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek astronomi oleh materi (debu dan gas) antara objek benda langit dengan pengamat.

Cahaya yang ada pada benda langit akan membuat jalan melalui atmosfer agar sampai pada pengamat. Beberapa foton pada perjalanan ini bertabrakan dengan, atom, molekul, tetesan air, dan benda-benda lainnya yang ada pada atmosfer. Foton ini dapat diserap oleh objek atau mungkin tersebar ke arah yang berbeda hingga terkadang tidak sampai ke pengamat. Akibatnya, pengamat menerima sinar cahaya lebih sedikit dari cahaya pada benda langit itu sendiri. Itulah sebabnya hal tersebut dinamakan kepunahan cahaya bintang.

Efek dari atmospheric extinction ini tergantung pada transparasi, ketinggian pengamat, dan sudut puncak (sudut dari puncak untuk satu baris dari penglihatan). Ketika sudut puncak meningkat, cahaya dari objek bintang harus melalui suasana yang lebih, sehingga mengurangi kecerahan. Oleh karena itu, bintang dekat zenit terlihat lebih terang daripada saat mendekati horizon. Dampak konsep ini diidentifikasi pertama kali oleh Friedrich Georg Wilhelm von Sttruve, sedangkan konsep  atmospheric extinction sendiri sering dikaitkan dengan Robert Julius Trumpler.

Ada tiga faktor yang dapat dipertimbangkan untuk menilai secara kuantitatif dampak atmospheric extinction. Salah satunya adalah penyerapan Molekuler, terutama disebabkan ozon atmosfer dan air, yaitu sekitar 0,02 besarnya per massa udara. Pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi ozon meningkat dengan ketinggian dan mencapai maksimum di sekitar ketinggian 25 km, kemudian turun dengan jumlah yang kecil pada ketinggian 50 km. Sedangkan konsentrasi uap air berkurang (turun) terhadap ketinggian.

Sebagai sinar perjalanan cahaya dari lapisan ke lapisan, cahaya tersebut bergerak dengan udara pada ketinggian yang berbeda bergerak dalam arah yang berbeda pada berbagai kecepatan. Sinar yang melewati lapisan dibiaskan dengan jumlah yang terus berubah. Pada rentang waktu puluhan milidetik, posisi bintang akan berubah oleh pecahan detik derajat. Sehingga, pada saat mencapai tanah, sinar mungkin telah bergeser ke posisi yang sedikit berbeda dan kecerahannya pun berkurang. Oleh karena itu, observatorium gunung mempunyai atmospheric extinction yang lebih kecil. Begitu pula atmospheric extinction di musim dingin adalah lebih kecil daripada di musim panas karena atmosfer sedikit air.

Extinction ini menjadi signifikan ketika ketinggian suatu benda langit, (dalam hal ini yang dimaksud adalah matahari) lebih rendah dari sekitar 45o. Apabila posisi tersebut diamati di permukaan laut, kepunahan puncaknya sekitar 0,28 magnitudo. Sedangkan jika suatu benda langit pada ketinggian 12,5o, kepunahan adalah 1,28 magnitudo, meningkat sebesar 1,00 magnitudo lebih besar dari puncak pada saat 45o. Efeknya menjadi jauh lebih dramatis di ketinggian rendah bahkan di cakrawala, efek besarnya adalah 11,2 magnitudo.

Selain mengurangi kecerahan, atmospheric extinction juga menyebabkan memerahnya suatu bintang. Fenomena ini terkait dengan extinction (kepunahan) antar bintang di mana spektrum radiasi elektromagnetik dari sumber radiasi mengubah karakteristik dari objek yang awalnya dipancarkan. Matahari biasanya menjadi redup pada panjang gelombang pendek dengan terangnya tersebar di langit latar depan, dan cahaya ditransmisikan sehingga yang tersisa dan tampak adalah cahaya merah. Memerah ini terjadi karena hamburan Rayleigh mempengaruhi cahaya biru sehingga sudut zenith meningkatkan ada kemerahan yang sesuai dari objek bintang. Inilah yang menjadikan matahari ataupun bulan tampak merah ketika senja dan pagi hari.

Lebih jauh lagi, hamburan Rayleigh oleh molekul udara hingga meningkatkan besarnya 0,14 per massa udara. Akhirnya, hamburan aerosol (debu, air dan polusi buatan manusia) menambahkan sekitar 0,12 magnitudo per massa udara. Pengaruh total rata-rata di permukaan laut adalah jumlah dari faktor-faktor ini, dalam urutan magnitudo 0,28 per massa udara pada Suhu dan Tekanan Standar. Oleh karena itu, kecerahan bintang objek kurang lebih besarnya adalah 0,28 di bagian atas atmosfer kita.


~

Bacaan Shalat

Bacaan Doa Iftitah

اللهُ اَكْبَرُ كَبِرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَشِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلًا . اِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَاوَاتِ وَالْااَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ . اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ . لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَ لِكَ اُمِرْتُ وَاَنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .

Allaahu akbaru
Kabiraa Walhamdulillaahi Katsiiraa, Wa Subhaanallaahi Bukratan Wa’ashiilaa, Innii Wajjahtu Wajhiya Lilladzii Fatharas Samaawaati Wal Ardha Haniifan Musliman Wamaa Anaa Minal Musyrikiin. Inna Shalaatii Wa Nusukii Wa Mahyaaya Wa Mamaatii Lillaahi Rabbil ‘Aalamiina. Laa Syariikalahu Wa Bidzaalika Umirtu Wa Ana Minal Muslimiin.

Artinya:
“Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah pada waktu pagi dan petang. Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan atau dalam keadaan tunduk, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan-Nya.
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dengan yang demikian itulah aku diperintahkan. Dan aku adalah termasuk orang-orang muslim (Orang-orang yang berserah diri).”

Bacaan Surah Al Fatihah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ – ١
bismillāhir-raḥmānir-raḥīm

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ – ٢
al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ – ٣
ar-raḥmānir-raḥīm

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ – ٤
māliki yaumid-dīn

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ – ٥
iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ – ٦
ihdinaṣh-ṣhirāṭal-mustaqīm

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ – ٧
ṣhirāṭalladżīna an’amta ‘alaihim ghairil-maghḍlụbi ‘alaihim wa laḍ-ḍlāllīn

Terjemahan:

  1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
  2. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,
  3. Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
  4. Pemilik hari pembalasan.
  5. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
  6. Tunjukanlah kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Bacaan Ruku’

سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ

Subhaana robbiyal ‘adhiimi wabihamdih 3x

Artinya: Mahasuci Tuhanku yang Maha Agung dan segala puji bagiNya

Bacaan I’tidal

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami’allaahu liman hamidah

Artinya: Allah Maha Mendengar orang yang memujiNya.

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْء السَّمَاوَاتِ وَمِلْء الْأَرْضِ وَمِلْء مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Robbanaa lakal hamdu mil ussamaawaati wa mil-ul ardhi wamil u -maa syi’ -ta min syai in mba’du

Artinya:
Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya .

Bacaan Sujud
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ‎

Subhaana robbiyal a’laa wa bihamdihi (Dibaca 3 kali)

Artinya:
Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Tinggi, dan memujilah aku kepada-Nya.

Bacaan Duduk diantara 2 sujud

رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِيْ

“Rabbighfirlii warhamnii waarzuqnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fu’anni”

Artinya:
“Duh Gusti, ampunilah aku, kasihanilah aku, dan cukupkan segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki kepadaku, berilah aku petunjuk, berikan juga kesehatan padaku, serta berilah ampunan kepadaku (atas dosa-dosa).”

Bacaan Doa Tahiyat Akhir

اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهدُ اَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كََمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمِ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

Artinya: Segala kehormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan adalah milik Allah. Keselamatan, rahmat dan berkah Allah mudah-mudahan tetap tercurahkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Keselamatan semoga tetap terlimpahkan kepada kami dan seluruh hamba Allah yang shalih-shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau memberi rahmat kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Limpahkanlah barakah kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi barakah kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam semesta, Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.

Bacaan Doa Qunut

اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

“Allahummahdini fî man hadait, wa ‘âfini fî man ‘âfait, wa tawallanî fî man tawallait, wa bâriklî fî mâ a‘thait, wa qinî syarra mâ qadhait, fa innaka taqdhî wa lâ yuqdhâ ‘alaik, wa innahû lâ yazillu man wâlait, wa lâ ya‘izzu man ‘âdait, tabârakta rabbanâ wa ta‘âlait, fa lakal hamdu a’lâ mâ qadhait, wa astagfiruka wa atûbu ilaik, wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallam.”

Artinya:
“Ya Allah tunjukkanlah akan daku sebagaiman mereka yang telah Engkau tunjukkan. Dan berilah kesihatan kepadaku sebagaimana mereka yang Engkau telah berikan kesihatan. Dan peliharalah daku sebagaimana orang yang telah Engkau peliharakan. Dan berilah keberkatan bagiku pada apa-apa yang telah Engkau kurniakan. Dan selamatkan aku dari bahaya kejahatan yang Engkau telah tentukan. Maka sesungguhnya Engkaulah yang menghukum dan bukan kena hukum. Maka sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau pimpin. Dan tidak mulia orang yang Engkau memusuhinya. Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Maha tinggi Engkau. Maha bagi Engkau segala pujian di atas yang Engkau hukumkan. Ku memohon ampun dari Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau. (Dan semoga Allah) mencurahkan rahmat dan sejahtera ke atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”

Pendiri & Pengasuh Bersama Simbah Kyai Jogo Rekso

edit1

Simbah Kyai Jogorekso adalah salah satu ulama’ dari Muntilan Magelang. Makam beliau ada di kawasan Pemakaman Raden Santri, Gunung Pring Muntilan Magelang. Beliau hidup sezaman dengan KH. Dalhar Watucongol. Beliau salah satu ulama yang sangat alim pada zamanya. Mbah Jogorekso terkenal sebagai seorang wali nyentrik. Beliau sangat banyak di datangi para kyai pada zamanya (salah satunya Simbah Kyai Madhchan) tempat mengadu dan meminta fatwa tak jarang kyai besar pun berdatangan ketempat beliau.

~ Kisah Simbah Jogorekso dengan Mbah Madchan (pendiri PP. Darut Taqwa Purwodadi) ~

Simbah Kyai Madchan seringkali sowan ke ndalem Mbah Jogorekso untuk meminta berkah ilmu beliau. Biasanya sebelum Mbah Madchan datang, Mbah Jogorekso sudah terlihat ceria. Kata orang, seperti sedang menunggu orang yang dirindukan. Dan seakan telah mengetahui Mbah Madchan akan datang sowan, Mbah Jogorekso biasanya menunggu di depan ndalem beliau dengan bersiul-siul dan kegirangan menyambut kedatangan saat Mbah Madchan sudah terlihat di gang ndalem beliau.

Salah satu karomah Mbah Jogorekso adalah tidak dapat difoto kecuali jika beliau berkenan. Oleh karenanya, sangat jarang ada foto beliau sebab beliau memang kurang senang jika difoto. Jadi, merupakan kehormatan besar bagi keluarga besar PP. Darut Taqwa Purwodadi mempunyai dokumentasi foto Simbah Kyai Jogorekso sekalian bersama Simbah Nyai Jogorekso. Semoga dokumentasi ini bisa bermanfaat untuk literasi yang mencari Profil Wali Simbah Kyai Jogorekso.
Dan mugi kita dapat keparingan berkah ilmunya meskipun hanya berguru lewat cerita.

Kisah yang paling banyak diceritakan adalah kisah Mbah Jogorekso dengan Gus Miek (Ploso Kediri).
Gus Miek pernah meminta barokah ilmunya ketempat beliau. Mbah Jogorekso sangat antik sekali bila menemui tamunya kadang berpakaian seadanya kadang tidak memakai baju, bahkan kain sarungnya pun tidak jarang tersingkap menampakkan auratnya. Dan biasanya jika ada seorang pejalan rohani (salik) atau orang itu akan menjadi besar tamu itu akan di uji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan oleh Mbah Jogorekso.

Suatu hari,Gus Miek bersama Hamim Hasyim, Kemayan, Kediri, menemui Mbah Jogoreso, Gus Miek ditempeleng dengan sangat keras oleh Mbah Jogoreso sehingga pipinya tampak memerah. Gus Miek kemudian mundur agak menjauh dari Mbah Jogoreso. Tetapi, Nyai Jogoreso yang saat ituberada di samping pintu justru menyuruh Gus Miek maju.
“Gus, sampean maju lagi,” kata Nyai Jogoreso.
Gus Miek pun maju lagi lebih dekat, tetapi kembali ditempeleng lebih keras lagi sehingga matanya tampak berkaca-kaca menahan sakit. GusMiek mundur, tetapi Nyai Jogoreso kembali menyuruhnya maju, bahkan lebih dekat lagi. Kembali Mbah Jogoreso menempeleng Gus Miek untuk yang ketiga kali, sehingga wajahnya tampak semakin merah. Setelah ditempeleng untuk yang ketiga kalinya, dan Gus Miek berniat maju lagi, Nyai Jogoreso mencegahnya.
”Sudah, Gus. Sudah cukup,” kata Nyai Jogoreso.
Ketika akan berpamitan pulang, Mbah Jogoreso memeluk Gus Miek cukup lama.
Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama KH. Hamid Kajoran berkunjung ke Watucongol.
“Mbah, mari ke Gunungpring!” ajak Gus Miek kepada KH. Hamid Kajoran.
“Mari,” jawab KH. Hamid.
Tiba di Gunungpringwaktu hampir Ashar. Menaiki tangga jalan menuju makam yang panjang dan mendaki, Gus Miek menyuruh Sunyoto memapah KH. Hamid Kajoran. Di makam KH. Dalhar, Gus Miek memimpin tawasulan dan doa.
“Mbah, mari ke Mbah Jogo,” ajak
Gus Miek kepada KH. Hamid Kajoran.
KH. Hamid pun mengiyakan. Tiba di rumah Mbah Jogoreso, Gus Miek tiba-tiba menyelinap entah kemana, sementara KH. Hamid Kajoran dan Mulyadi sudah telanjur masuk, sementara Sunyoto hanya ada di luar menunggu Gus Miek. Tampak KH. Hamid duduk berbincang dengan Nyai Jogoreso dengan menunduk penuh hormat, sementara Mulyadi hanya diam saja.
Tiba-tiba Gus Miek masuk tanpa memakai peci, menepuk lutut Nyai Jogoreso yang saat itu duduk di kursi di seberang KH. Hamid.
“Mbah, saya akan berdoa, diamini ya?” kata Gus Miek, lalu berdoa sambil tetap berdiri. Nyai Jogoreso mengamini doa Gus Miek dan menyebut nama Allah, membuat Mulyadi dan Sunyoto merinding mendengarnya.

HULUL DAN WAHDATUL WUJUD

Download pdf -> Hulul & Wahdatul Wujud

Oleh Hudhoifah

Pada akhlak tasawuf dibahas beberapa maqamat dan ahwal untuk mencapai ma’rifat. Salah satu yang membuat kontroversi dalam kalangan ulama’ adalah hulul dan wahdatul wujud. Sebagaimana yang ada pada sejarah sufisme, kemunculan doktrin hulul merupakan salah satu bentuk tasawuf falsafi. Secara historis hulul mempunyai kaitan yang erat dengan keberadaan fana’ yang diintroduksi pertama kali oleh Abu Yazid al-Busthami. Tentu saja hal demikian ini lebih dikarenakan keberadaan fana’ ‘an-nafs itu sendiri merupakan prakondisi bagi tercapainya “penyatuan” ruh sufi dengan ruh Tuhan dalam berbagai bentuknya.

Dapat dikatakan bahwa ketika sufi sudah mencapai derajat fana’ ‘an nafs, maka sesungguhnya dia tidak mesti kembali kepada kondisi “sadar” (normal) seperti yang dikehendaki tasawuf akhlaki dan atau tasawuf sunni, tetapi sangat boleh jadi dia justru terus mengalami peningkatan spiritual hingga ruhnya sampai mengalami penyatuan dengan ruh Tuhan. Menurut Abu Mansur al-Hallaj, penyatuan ruh sufi dengan ruh Tuhan itu mengambil bentuk hulul, sedangkan Ibnu Al-Arabi mengenalnya dengan konsep wahdatul wujud.[1] Pada tulisan ini penulis akan mencoba mendekripsikan kedua konsep tersebut. Semoga dengan penbahasan sekilas ini dapat menambah wawasan penulis khususnya dan pembaca umumnya.

  1. HULUL

Pengertian Hulul

Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian bahasa berasal dari kata halla-yahlu-hululan yang berarti menempati, tingal dan menetapkan, demikian pula dapat bermakna: penempatan, penyinarary penurunan, menjehna, merintis, menepati atau menyusup.[2] Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[3] Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang menyatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[4]

Pemahaman ini dikembangkan oleh Al-Hallaj yang mengatakan bahwa ketika Tuhan berdialog terhadap dirinya sendiri dalam suatu dialog yang di dalamnya tak terdapat kata-kata dan huruf. Ketika itu Tuhan sebenarnya cinta kepada Dzat-Nya sendiri dan dari cinta inilah, adanya wujud yang banyak ini. Tuhan lalu mengeluarkan dari yang tiada, tiruan dari diri-Nya yang mem punyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk salinan itulah Adam, dan dari Adam itulah Tuhan muncul dalam bentuk-Nya.[5] Di samping kata-kata di atas, Al-Hallaj juga mengatakan bahwa telah bercampur roh-Mu dengan rohku laksana bercampurnya khamr dan air yang jernih. Bila sesuatu menyentuhMu, tersentuhlah aku. Oleh sebab itu, engkau adalah aku dalam segala hal.[6] Al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat dasar ganda, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.

Jadi Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu al-hulul adalah ketuhanan (lahut) yang menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[7]

Hululnya Tuhan kepada manusia berkaitan dengan maqam Fana dan menurut Hallaj terdapat tiga tingkatan yaitu pertama, memfanakan seluruh keinginan dan kemauan jiwa. Kedua, semua unsur-unsur pikiran dan perasaan sehingga menyatu semata- mata hanya kepada Allah SWT, dan yang terakhir, menghilangkan segala kekuatan pikiran dan perasaan serta kesadaran.

Adapun bentuk Al-Hulul diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :[8]

  1. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
  2. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir didalam bunga.

Lebih lanjut, hulul dalam konsep Al-Hallaj adalah dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusian dengan demikian persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi dan persatuan ini dalam falsafat aI- Hallaj mengambil bentuk hulul (mengambil tempat). Maka untuk dapat bersatu dengan Tuhan manusia harus lebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana, kalau sifat kemanusian ini telah hilang dan yang tinggal sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itulah roh Tuhan dan manusia bersatu dalam tubuh manusia.[9]

Banyak para ulama yang berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj. Al-Taftazani telah berusaha menyimpulkan bahwa hululnya al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Paham hulul al-Hallaj, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya Allah, sedang dalam hulul hanya diri al-Hallaj yang tidak hancur. Dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam paham hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.[10] Sedangkan menurut Abu al-Wafa aI-Ghanimi konsep malakut, lahut dan nasut yang dikemukakan oleh Al-Hallaj ternyata dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kristen.[11]

Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul

  • Husein bin Mansur al-Hallaj

Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida, Persia atau sekarang dikenal dengan Iraq. Dilahirkan pada sekitar tahun 244 H (857 M) dan meninggal pada tahun 309 H (922 M).

Al-Hallaj masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga kali. Disaat melaksanakan ibadah haji, Al-Hallaj menemukan sebuah ilham, bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran “penyatuan” antara dia dan Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan hal pribadi yang tak tersentuh oleh orang yang tidak mengalaminya. Intisari dari ilham yang dia temukan itulah yang disebut Wahdatul Wujud.

Dengan kata lain, Wahdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat al-Hallaj menunaikan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj mengemukakan pengalaman kerohaniannya, dalam sebuah konsep yang disebut dengan  Hulul. Hulul artinya bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia ketika manusia itu mengalami Fana’, sebuah proses peleburan indrawi basyariyah.

Tanpa pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa membuatperbincangan, golongan Mu’tazilah dan Syi’ah kemudian menggelar akbar bahwa al-Hallaj telah menyebarkan kesesatan terhadap umat Islam, khususnya tentang ketauhidan. Apa yang disampaikan oleh al-Hallaj merupakan apa yang dia ilhami dari proses tafakkurnya.Dan apa yang ditentang oleh kaum Mu’tazilah dan Syi’ah adalah bahwa tidak benar Tuhan menempati diri manusia; tentu saja, jika manusia masih dengan kesadarannya sebagai manusia, dan terutama karena mereka belum faham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj.Lagi pula, menurut beberapa bacaaan, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk mengeliminasi al-Hallaj dari pemunculan politik saat itu. Al-Hallaj dicurigai dan dituduh bersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya menjat uhakan pemerintah. Al-Hallaj merupakan pemerhati moral politik, suatu saat ada sekelompok besar yang melakukan demonstrasi menuntut adanya reformasi moral politik, dan masa ini mengaku mendapatkan dukungan dari al-Hallaj, dan hal inimenyebabkan al-Hallaj dipenjara selama kurang lebih sembilan tahun.

Pendek kata,al-Hallaj dipenjara karena alasan politik,  al-Hallaj dianggap tokoh yang paling berbahaya karena berupaya menggulingkan pemerintahan; anehnya, al-Hallaj sebenarnya menghabiskan waktunya untuk zuhud dan berdakwah, dan tidak ada keuntungan baginya untuk menggulingkan kekuasaan siapapun karena dia tidak tergolong orang yang cinta dunia.

Al-Hallaj kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak kerajaan sudah meminta ampun untuk beliau, mengingat jasanya saat mengobati putra mahkota kerajaan. Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan dipukuli dengan batu hingga darahnya bercucuran dari kepala. Al-Hallaj dibiarkan separuh mati selama sehari, dan akhirnya al-Hallaj dipenggal kepalanya. Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata al-Hulul. Menurut al-Hallaj  diantara hamba dan Tuhan terdapat garis pemisah yang menegaskan hakikat masing-masing. Garis pemisah itu sangat dekat, yaitu yang menyembah dan yang disembah (al-Abid wal Ma’bud). Pada keadaan dimana ingatan hanya tertuju kepada Allah semata-mata, dan menolak selain Allah, termasuk diri sendiri, maka al-Abid pun lenyap, dan tinggallah al-Ma’bud.  Kebaqaan al-Ma’bud merupakan hasil dari fana’nya al-Abid. Pada titik inilah garis pemisah dan pembeda hakikat pun hilang, sehingga pada hakikatnya yang menyembah dan yang disembah adalah satu.

Hanya saja, orang tidak memahami bahwa yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah al-Abid melebur masuk kedalam al-Ma’bud, dan bukan al-Ma’bud merasuki tubuh al-Abid. Jika kesadaran al-Abid masih zahir, maka tidak fana’lah dia, dan jika fana’ maka al-Ma’bud lahyang zahir dan al-Abid menjadi batin atau rahasia yang tersembunyi dibalik kebesaran Allah Swt.

  • Abu Yazid al-Busthami

Nama beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau dilahirkan di Bistam, Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapali bacaan,  Abu Yazid merupakan pencetus pertama konsep fana’ dan baqa’. Salah satu teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq yang mengajarkan beliau prinsip-prinsip dasar tasawuf. Dari Syekh Shaddiq,  Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan hakikat merupakan pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain ;begitu pula sebaliknya, syariat dan hakikat.

Persoalan fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian secara ringkas. Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan kesadaran rohani “bersatunya” hakikat Allah dan hakikat hamba dalam prosesfana.  Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah pernyatuan rohani, apalagi jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat hamba kepada hakikat Allah, laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur pada kenyataan Allah yang “menyamudra.”Pandangan Abu Yazid ini dianggap menyesatkan, karena meniscayakanadanya penyatuan Allah dan hamba. Ini dianggap sebagai menrunkan derajatAllah yang maha Mulia; menganggap Allah sederajat dengan hamba merupakan pelecehan terhadap Allah.

Disinilah kesalah tafsiran para ulama pada saat itu (hingga saat ini). Yang dimaksud dengan Hulul dan Ittihad bukanlah menyamakan derajat Allah dan hamba,  melainkan justru meniadakan hamba sehingga yang ada hanyalah Allah semata. Diri sendiri merupakan sesuatu yang boleh menghalangi kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Wujud Allah, maka wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.

Dasar Hukum Hulul

Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam, maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir.”(Q.S Al-Baqarah: 34).[11]

2. WAHDATUL WUJUD

Pengertian Wahdatul Wujud

Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.  Dengan demikian, wahdatul wujud memiliki arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal dari Allah.[12]

Secara terminologi Wahdat al-Wujud berarti kesatuan eksistensi. Tema sentral pembicaraan Wahdatul Wujud ialah mengenai bersatunya Tuhan dengan alam atau dengan kata lain Tuhan meliputi alam. Dapat dikatakan, kata Wahdatul Wujud berarti paham yang cenderung menyamakan Tuhan dengan alam semesta. Paham ini mengakui tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, kalaupun ada maka hanya pada keyakinan bahwa Tuhan itu ialah totalitas sedang makhluk bagian dari totalitas tersebut, dan Tuhan menampakan diri pada apa saja yang ada di alam semesta. Semuanya merupakan penjelmaaan-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di ala m ini kecuali Dia.[13]

Wahdatul Wujud atau unity of existence merupakan paham lanjutan dari paham hulul yang dicetuskan oleh Muhi al-Din lbnu Al-Arabi. Pada wahdatul wujud, paham nasut yang ada dalam hulul diubah oleh lbnu arabi menjadi Khalaq ( ﻤﺨﻠﻮﻖ : makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (ﺤﻕ : Tuhan). Keduanya (Khalaq dan Haq) menjadi suatu aspek, dimana  Khalaq sebagai aspek luar, dan Haq sebagai aspek dalam. Kata Khalaq dan Haq merupakan sinonim dari “Al-‘ard” dan “Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir”(lahir, dalam) dan ”Al-Batin” (batin, dalam). Aspek ‘Ard dan khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan Al-Jauhar dan haq mempunyai arti ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud pasti memunyai sifat kemakhlukan dan sifat ketuhanan.[14]

Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang terpenting adalah aspek batin atau Al-Haqq yang merupakan hakikat essensi dan substansi. Sedangkan aspek Al-Khalq, merupakan aspek luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena aspek yang pertama (Al-Haqq). Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu.[15]

Al-Haq (Tuhan) dan Al-Khlaq (alam) ialah satu, tetapi tetap berbeda. Doktrin wahdatul wujud menekankan tidak hanya sisi tasybih (penyerupaan alam dengan Tuhan) tetapi juga sisi tanzih (penyucian sifat-sifat Tuhan dari penyerupaan-Nya dengan alam). Dilihat dari tasybih, Tuhan ialah identik, atau lebih tepatnya serupa dan satu dengan alam walaupun keduanya tidak setara, karena Dia, melalui nama-Nya, menampakan diri-Nya dalam alam. Namun dilihat dari sisi tanzih, Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia ialah Dzat mutlak yang tidak terbatas diluar alam nisbi yang terbatas. Gagasan ini dirumuskan Ibn Arabi dengan ungkapan singkat, huwa la huwa (Dia dan bukan Dia). Dalam pandangan ini Tuhan ialah transenden dan sekaligus imanen.[16]

Sebagaimana Hulul, dalam paham wahdatul wujud juga beranggapan bahwa Tuhan ingin melihat diriNya diluar diriNya, dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin Tuhan. Paham ini juga mengatakan seperti bahwa yang ada di alam ini terlihat banyak, namun pada dasarnya hanya satu. Sebagimana dalam Fushush Al-Hikam yang dijelaskan oleh Al-Qashimi dan dikutip oleh Harun Nasution, bahwa jika seseorang bercermin dalam beberapa kaca. Ia melihat dirinya terlihat banyak, namun sebenarnya hanya satu.[17] Wujud Al-Khalq banyak bergantung kepada wujud Al-Haqq, sehingga sebenarnya yang punya wujud hanya lah satu (Tuhan), sedangkan yang lain adalah wujud bayangan.[18]

Aliran ini pada dasamya berdasarkan tonggak-tonggak rasa, sebagaimana terungkap dalam perkataannya: “Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segaala sesuatu itu sendiri.”[19] Menurut lbnu Arabi, realitas wujud itu hakekatnya tunggal. Sedangkan pembedaan antara dzat dan hal yang mungkin hanyalah sekedar pembedaan relatif, sementara pembedaan hakiki yang dilakukan terhadap keduanya, adalah akibat pembedaan yang dilakukan oleh akal budi, padahal akal budi itu terbatas.

Ringkasnya, lbnu Arabi berpendapat bahwa wujud hal yang mungkin adalah wujud Allah semata. Sementara beraneka dan jamaknya hal yang ada, tidak lain hanyalah hasil indra-indra lahiriah serta akal budi manusia yang terbatas, yang tidak mampu memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. Dengan kata lain, pada substansinya dan esensinya itu hanya tunggal, yang menjadi jamak dalam sifat dan namanya tanpa bilangan dengannya kecuali hanya karena wawasan, ikatan dan tambahan. Karena itu, jika dipandang dan aspek esensinya, maka hal itu adalah Yang Maha Benar. Sementara Jika dipandang dari aspek sifat-sifatnya maka hal itu adalah makhluk.[20]

Tuhan adalah Maha Suci. Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh sesuatu yang suci pula. Oleh karena itu, pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri dengan Tuhan sedekat mungkin, dan jika bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih hidup. Maka untuk mencapai insan kamil, seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam kehidupannya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohaniannya akan senaniasa diukur dengan Al-Quran dan sunah Nabi SAW.[21]

Menurut Ibnu Arabi, Tuhan telah ada ketika tak ada sesuatu pun bersamanya (kana Allah wa lam yakun ma’ahu syaiun ghoiruhu). Kemudian bisa berkehendak untuk mewujudkan alam dalam suatu bentuk yang telah ada di dalam ilmu-Nya. Dengan kehendak ini terciptalah suatu hakekat yang disebut al haba’, dan itulah maujud pertama yang ada dalam alam yang oleh para filosof disebut hayula. Maujud pertama ini adalah suatu alam yang ada disebabkan oleh suatu daya (al quwwah al shalahiah), dan dari daya itu keluarlah perbuatan (al fi’il) yang berproses melalui suatu urutan sampai mencapai kesempurnaan. [22]

Semua bentuk-bentuk alam menerima cahaya Allah sesuai dengan kapasitas persiapannya, mirip dengan penerimaan cahaya bagi suatu pojok rumah yang datang dari sumber cahaya (siraj), semakin dekat ke siraj semakin banyak dia menerima cahaya. Al haba’ yang paling dekat dengan nur Allah adalah hakikat Nabi Muhammad Saw yang disebut dengan Aql, dialah sayyid al alam yang mencakup segalanya, dan dialah yang pertama-tama nampak dalam wujud, kemudian nampaklah maujud-maujud lainnya secara berantai sesudah itu dan berurutan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.[23] Wujud itu terdiri dari empat macam yaitu:

  • Allah
  • Akal Universal yang juga disebut al Haqiqat al Muhammadiah.
  • Jiwa Universal yang beremanasi kepada seluruh jiwa.
  • Tubuh Universal juga disebut al haba’/hayula.

Alam ini adalah qadim karena ia telah maujud dalam satu ilmu Allah yang qadim, dan alam ini hadist karena ia berada pada suatu bentuk yang tadinya belum ada kemudian ada. Bisa juga dipahami, bahwa alam ini qadim dalam konteks keberadaannya ketika masih berwujud hakikat universal, dan alam ini hadist dalam konteks bentuk fenomenalnya yang bermacam-macam. Ibn Al-Arabi berpendapat bahwa orang-orang menemukan Tuhan dalam alam diri menemukan diri sendiri disebut al-Kasyfawa al-Wujud (orang-orang yang mengungkap dan menemukan).[24]

Dr. Muhammad Yusuf Musa di dalam bukunya Falsafat al Akhlaq Fi al Islam mengatakan: “Jika pendapatnya (Ibnu Arabi) tentang alam adalah demikian, yaitu satu yang qadim dilihat dari segi hakikatnya, dan banyak muhdats dilihat dari segi bentuk manifestasinya, maka filusuf kita (Ibnu Arabi) dalam hal ini tidak berbeda dengan para pengikut Asy’ari yang menyatakan bahwa alam ini semuanya semisal dengan satu jauhar dan berbeda-beda dalam bentuk-bentuk aradz-nya, atau dengan kata lain “satu hakekatnya tapi berbeda bilangan bentuk dan gambarnya”.[25]

Tokoh Wahdatul wujud dan Ajarannya

  • Muhy Al-Din Ibnu Arabi

Syaikh Muhyi al Din Muhammad Ibnu Ali, umumnya dikenal sebagai Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun  560H/1165 M. Dia dikenal di Barat sebagai Ibnu al Arabi, dan di Spanyol sebagai Ibnu Suraqa. Akan tetapi di Timur dia dikenal sebagai Ibnu Arabi tanpa “al” untuk membedakannya dengan Abu Bakar, seorang Qadi di Seville yang juga terkenal dengan sebutan Ibnu al Arabi. [26]

Pada umur 8 tahun, Ibnu Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon. Di sana ia menerima pendidikan Agama Islam, yaitu mengkaji Al-Qur’an dan Fiqih dari Syeikh Abu Bakar Ibnu Khalaf. Kemudian Ibnu Arabi pindah ke Seville yang pada saat itu merupakan pusat Sufi di Spanyol, dan menetap di sana selama 30 tahun untuk mempelajari Hadist dan Ilmu Kalam serta Fiqih. Kemudian ia mengunjungi Kordova, di sana ia bersahabat erat dengan Ibnu Rusyd.[27] Kemudian mengunjungi Tunisia pada tahun 1194 M, ia masuk aliran Sufi.[28] Di Tunisia, Ibnu Arabi mempelajari karya Ibnu Qoyi Khal’an-Na’layn, sebuah buku yang menurut Ibnu Khaldun seharusnya dibakar atau dicuci bersih gagasannya yang bid’ah.[29] Selain itu, Ibnu Arabi juga mempelajari karya-karya Ibnu Masarra dari Kordova yang membahas tentang cahaya yang menyucikan. Negeri negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal adalah buku dlam bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “Futuh Al-Hikmah” (Permata-permata hikmat).[30]

Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaum awam sebagai mana dialami Al-Hallaj. Baginya, wujud itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain ujud Khaliq. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau Maka engkaulah yang sempit dan lapang.” [31]

Ringkasannya  tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan. Oleh sebab itu ada orang yang menyebut filsafat Ibnu Arabi ini panteisme, sungguhpun nama itu tidak sesuai dengah Wahdah Al-wujud.[32]

  • Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang. Namun yang menjadi referesni adalah nama Syekh Lemah Abang juga tertulis dalam dokumen Kropak Ferrara, sebuah dokumen kuno yang belum lama diketemukan. Dalam beberapa publikasi, nama Jenar terkadang disebut juga Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama dengan abang yang juga berarti merah.[33] Menurut Rahimsyah, Jenar juga mempunyai nama lain Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah Syekh Datuk Sholeh. Sedangkan menurut Munir Mulkhan Jenar bernama asli Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil, berasal dari Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu.[34] Sedangkan asal-usulnya tidak ada yang mengetahui secara pasti.

Syekh Siti Jenar adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.

Pandangan Jenar dengan para penganut pandangan wahdah al-wujûd tidak jauh berbeda. Pandangannya tentang ketuhanan disebut dengan manunggaling kawulo-Gusti. Konsep mistik manunggaling kawula-Gusti, curiga manjing warangka dalam budaya Jawa secara teologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan. Secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan lingkungan.[35]

Pandangan Jenar tentang Allah tidak berwarna dan tidak terlihat, yang hanya adalah tanda-tanda wujud dari Hyang Widi tersebut sama dengan pandangan teori Martabat Tujuh yang menyatakan bahwa apa yang maujud di alam ini sebenarnya merupakan “tajallî”-Nya, penampakan dari zat Allah. Sungguh pun demikian zat Allah yang berada dalam perwujudan kayu dan batu berbeda dengan yang berada dalam diri manusia. Karena manusia pada hakikatnya merupakan perwujudan dari “tajallî”-Nya Allah yang maha paripurna.[36]

KESIMPULAN

  1. Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah yaitu paham yang menyatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Konsep hulul beranggapan bahwa diri manusia terdapat sifat dasar ganda, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
  2. Hulul dikembangkan oleh Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Badawi yang dikenal dengan sebutan Al-Hallaj.
  3. Wahdatul Wujud ialah paham mengenai bersatunya Tuhan dengan alam. Paham nasut yang ada dalam hulul diubah oleh lbnu Arabi menjadi Khalaq ( ﻤﺨﻠﻮﻖ: makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (ﺤﻕ : Tuhan). Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu.
  4. Syaikh Muhyi al Din Muhammad Ibnu Ali adalah tokoh yang mengenalkan pahan wahdatul wujud. Di Indonesia sendiri terdapat tokoh yang serupa dengan wahdatul wujud, yaitu Syekh Siti Jenar dengan paham manunggaling kawulo Gusti.

DAFTAR PUSTAKA

 E. Afifi, 1995, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Jakarta: Gaya Media Pratama

Aqil Siroj, Said, 2012, Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat Beragama, Surabaya: Khalista

Aziz Dahlan, Abdul, 2002, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 4

Curil dhsse, The oncise Enryclopaedia Of Islam Terjemahan Gufron, , 2002, Ensiklopedi Islam Ringkas Ed I, cet III, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Derani, Saidun. “Syekh Siti Jenar : Pemikiran Dan Ajarannya.” Buletin Al-Turas 20, no. 2 (2020): 325–48. https://doi.org/10.15408/bat.v20i2.3764.

Fauzan, Aris. “‘Ingsun’ Misteri Tasawuf Mistik Syekh Siti Jenar.” Afkaruna, no. January 2012 (2012): 119–34. https://doi.org/10.18196/AIIJIS.2012.

Faza, Abrar M Dawud. “Tasawuf Falsafi” 2 (2003): 56–70.

Hamka, 1984, Tasawuf;  Perkembangan, dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas

Hasyim Syamhudi, Muhammad. “Hulul, Ittihad, Dan Wahdat Al-Wujud Dalam Perbincangan Ulama Zahir Dan Batin.” Al Tahrir 13, no. 1 (2013): 107–26.

Khamid. “Wahdat Al Wujud Dan Insan Kamil Menurut Ibnu Al Arabi ( Kajian Tasawuf Modern) Khamid.” Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani 10, no. 1 (2014): 100–108.

Mukarromah, Oom. “Ittihad, Hulul, Dan Wahdatul Wujud.” Tazkiya : Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan Dan Kebudayaan 16, no. 1 (2015): 129–46.

Mustofa A, 1997, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia

  1. Sobirin dan Rosihan Anwar, 2000, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya

Nasution, Harun, 1983, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bandung: Bulan Bintang

_______________, 2006

Nata, Abuddin, 2012, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Nawawi, Nurnaningsih. “Pemikiran Sufi Al-Hallaj Tentang Nasut Dan Lahut.” Al Fikr; Jurnal Pemikiran Islam 17 (2013): 572–84.

Rofi’ie, Abd Halim. “Wahdat Al Wujud Dalam Pemikiran Ibnu Arabi,” no. 169 (n.d.): 1–11.

SAQ Husaini, Moulvi, 1977, Ibnu al Arabi, Lahore: SHM Ashraf

Schimmel, Annemarie. 1986. Mystical Dimension of Islam. Terjemahan oleh Supardi Djoko dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus

Simon, Hasanu, 2004, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Wafa Al-Ghanimi, Abu, 2003, Sufi dan Zaman ke Zaman, Jakarta: Pustaka

Yusuf Musa, M. 1963,  Falsafat al Akhlaq fi al Islam, Kairo: Muassasah al Khanji

[1] Said Aqil Siroj, Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat Beragama, Surabaya: Khalista, 2012, hlm. 29

[2] Curil dhsse,The oncise Enryclopaedia Of Islam, Terjemahan Gufron: Ensiklopedi Islam Ringkas Ed I cet III, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.139.

[3] Abrar M Dawud Faza, “Tasawuf Falsafi” 2 (2003): 56–70.

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Bandung: Bulan Bintang, 1983, hlm. 88. Diambil dari Abu Nasr al-Tusi, al-Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah al-Haditsah, 1960.

[5] Muhammad Hasyim Syamhudi, “Hulul, Ittihad, Dan Wahdat Al-Wujud Dalam Perbincangan Ulama Zahir Dan Batin,” Al Tahrir 13, no. 1 (2013): 107–26.

[6] Hamka, Tasawuf, Perkembangan, dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, 121

[7]  M. Sobirin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, hlm. 224

[8] Nurnaningsih Nawawi, “Pemikiran Sufi Al-Hallaj Tentang Nasut Dan Lahut,” Al Fikr; Jurnal Pemikiran Islam 17 (2013): 572–84.

[9] Oom Mukarromah, “Ittihad, Hulul, Dan Wahdatul Wujud,” Tazkiya : Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan Dan Kebudayaan 16, no. 1 (2015): 129–46.

[10] Faza, “Tasawuf Falsafi.”

[11] Abu Wafa Al-Ghanimi, Sufi dan Zaman ke Zaman, Jakarta: Pustaka 2003, hlm. 27

[12] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 247.

[13] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, hlm. 13.

[14]  A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 1997, hlm. 275.

[15] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang, 2006, hlm. 93

[16] Abdul Aziz dahlan, et al, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Jilid 4, hlm. 166.

[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang, 2006, hlm. 71

[18] Hasyim Syamhudi, “Hulul, Ittihad, Dan Wahdat Al-Wujud Dalam Perbincangan Ulama Zahir Dan Batin.”

[19] Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi dan Zaman ke Zaman…hlm. 201

[20] Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi dan Zaman ke Zaman…hlm. 203

[21] A. Mustofa, Akhlak Tasawufhlm. 276

[22] Abd Halim Rofi’ie, “Wahdat Al Wujud Dalam Pemikiran Ibnu Arabi,” no. 169 (n.d.): 1–11.

[23] Rofi’ie.

[24] Khamid, “Wahdat Al Wujud Dan Insan Kamil Menurut Ibnu Al Arabi ( Kajian Tasawuf Modern) Khamid,” Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani 10, no. 1 (2014): 100–108.

[25] M. Yusuf Musa, Falsafat al Akhlaq fi al Islam, Kairo: Muassasah al Khanji, 1963, hlm. 248.

[26] Moulvi SAQ Husaini, Ibnu al Arabi, Lahore: SHM Ashraf, 1977, hlm. 2.

[27] Affifi, AE. A Mystical Philosophy of Muhyi al Din Ibnu Arabi, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989,  hlm. 92.

[28] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam…hlm. 92.

[29] Schimmel, Annemarie. 1986. Mystical Dimension of Islam. Terjemahan oleh Supardi Djoko dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 272.

[30] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf,…hlm. 278

[31] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf… hlm. 253-254.

[32] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf…hlm. 279.

[33] Saidun Derani, “Syekh Siti Jenar : Pemikiran Dan Ajarannya,” Buletin Al-Turas 20, no. 2 (2020): 325–48, https://doi.org/10.15408/bat.v20i2.3764. Koprak Ferara ialah naskah yang terbuat dari rontal yang berisi sareasehan para Wali, berasal dari masa paling awal abad ke-18. Lihat dalam G.J.W. Drewes, Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah: Berikut Wasiat-wasiat Agama beserta Panduan Dakwah Para Wali di Jawa, Cet. I, Surabaya, 2002, hlm. 23

[34] Lihat Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 364.

[35] Derani, “Syekh Siti Jenar : Pemikiran Dan Ajarannya.”

[36] Aris Fauzan, “‘Ingsun’ Misteri Tasawuf Mistik Syekh Siti Jenar,” Afkaruna, no. January 2012 (2012): 119–34, https://doi.org/10.18196/AIIJIS.2012.

berlokasi di Jl. Kolonel Sugiono III/06 Jagalan Utara Purwodadi Grobogan Jawa Tengah