(Fungsi Sosial Manusia Sebagai Instrumen Asasi Hukum)
Dalam sosiologi hukum, kita kenal beberapa tokoh yang menjadi peletak dasar sosiologi hukum itu sendiri, yaitu Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa mereka merupakan pendiri sosiologi hukum dan biasa disebut dengan para sosiolog masa klasik. Ketiganya merupakan sosiolog bangsa Barat yang lebih condong dalam pemikiran atheis. Sedangkan dari ilmuan muslim sendiri jauh sebelum ketiga diatas, terdapat beberapa nama yang salah satunya adalah Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun mencetus pemikiran baru yang menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri. Ia bernama lengkap Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun yang lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.
Emile Durkheim, Karl Marx, dan Max Weber, memulai sosiologinya dengan mempelajari masyarakat modern dimana masyarakat yang dikenalnya hanyalah masyarakat Barat dan sistem kapitalismenya. Masalah utama yang dihadapi Durkheim adalah menjaga dan melestarikan sebuah komunitas dalam kondisi modern, baik sebagai prasyarat integrasi soisal bagi masyarakat maupun sebagai syarat untuk kehidupan sosial yang bermakna bagi perorangan. Sedangkan Karl Marx memasalahkan kondisi kehidupan yang tidak menusiawi dari kelas pekerja dalam masyarakat modern. Di sisi lain, Weber menekankan pada proses rasionalisasi sebagai ciri modernisasi yang digambarkannya sebagai terwujud dalam bentuk organisasi birokrasi.
Berbeda dengan para sosiolog hukum lainnya, Ibn Khaldun memulai perjalanannya dalam ranah sosiologi dari sisi historigrafi. Dengan latar belakang seorang Muslim, Ibn Khaldun mengaplikasikan al-naqd fi tamhish al-hadits (daya kritis yang kerap dipakai dalam pembuktian validitas transmisi hadits) dalam proses validasi historiografi. Namun lebih dari itu, bahwa sejarah juga harus dipahami sebagai sebuah proses yang menyampaikan informasi berkaitan dengan sebab-musabab kejadian sebuah peristiwa. Kajian sejarah juga harus mau menyajikan anasir-anasir yang mendukung dan menghambat pergerakan sebuah peradaban yang telah lewat. Dari sisi historigrafi ia menulusuri rekonstruksi peradaban Islam yang terjadi dimasa pendahulunya untuk mendapatkan hukum-hukum yang relevan.
Pada akhirnya, gagasan-gasan Ibn Khaldun dalam kajian historiografi mengarah pada satu tujuan, yaitu berupaya menanamkan sebentuk kesadaran yang disertai sebuah kemampuan dan kemauan untuk menempatkan entitas sejarah sebagaimana eksistensinya dalam sejarah sebagaimana sebenarnya berjalan dan sejarah yang menjadikan studi sosial sebagai topik utamanya. Dari sini lah kemudian Ibn Khaldun berbicara mengenai sosiologi dan aturan-aturan yang mengikat pada suatu komunitas sosial.
Untuk itu, penulis tertarik mengangkat pemikiran Ibn Khaldun yang notabenenya seorang sosiolog muslim yang jarang dibahas dalam buku-buku sosiologi hukum pada umumnya. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan disajikan pemikiran Ibn Khaldun dari aspek kemasyarakatan yang merupakan subjek sekaligus objek dari hukum itu sendiri.
- Latar Belakang Ibn Khaldun
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Yaitu ketika Khalifah Abbasiyah diambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah.
Sekalipun terlahir dalam masa kemunduran peradaban Islam, Ibn Khaldun justru besar dan tumbuh dalam suasana intelektual berkat didikan sang ayah, Muhammad. Ayahnya adalah penganut taat madzhab Maliki dan berguru langsung terhadap salah satu fuqaha Maliki bernama Abu Abdillah al-Zabidiy. Seorang pakar fikih otoritatif madzhab Maliki pada zamannya. Pendidikan yang diterima dari ayahnya inilah yang banyak mempengaruhi sisi religiusitas seorang Ibn Khaldun. Layaknya penganut madzhab Maliki lainnya, pemahaman keagamaan Ibn Khaldun lebih banyak didominasi oleh gaya epigonisme.
Kepada ayahnya, Ibn Khaldun banyak belajar mengenai kajian-kajian fikih, utamanya fikih madzhab Maliki. Pun lebih memperdalamnya dengan berguru pada tokoh-tokoh lainnya. Penguasaannya yang mendalam atas kajian fikih madzhab Maliki inilah yang pada akhirnya mengantarkan Ibn Khaldun menduduki jabatan Qadhi al-Qudhat (hakim agung) sepanjang empat tahun. Sebuah jabatan yang menjerumuskan dirinya dalam kubangan konflik dengan para agamawan Mesir. Fanatisme madzhab dan ketundukan atas tradisi (epigonisme) menjadi demikian kentara dalam sosok Ibn Khaldun dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar fikih.
Pemahamannya atas kajian filsafat, nyatanya memberikan kontribusi yang positif bagi kemampuan intelektualnya. Alih-alih menerima filsafat tanpa reserve, Ibn Khaldun banyak memberikan “catatan” bagi konsepsi-konsepsi filsafati. Ibn Khaldun, layaknya al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, pun mengalami fase meragu-kritis (al-Syakk al-Naqdiy) atas beberapa ajaran filsafat. Jika al-Ghazali meragu pada kemampuan akal untuk bisa merengkuh kebenaran sejati (al-Haqq), dan saat Ibn Taymiyyah gamang pada keabsahan “al-kulliyyât al-‘aqliyyah al-‘ammâh“, maka Ibn Khaldun tidak meyakini klaim filosof yang mendaku mengetahui segala sesuatu dengan perantaraan silogisme Yunani. Bagi Ibn Khaldun, rumusan-rumusan logika formal ala Aristoteles yang begitu dipedomani oleh para filosof Islam, pada banyak aspek, berseberangan dengan kebenaran alami yang bersumberkan kemampuan inderawi.
Ibn Khaldun dengan tegas menafikan keabsolutan kebenaran yang berdasar pada kaidah mantik. Penafian ini berdasar pada fakta bahwa kesesuaian antara konklusi (natijah) sebuah tindakan silogikal dengan output persepsi inderawi tidaklah meyakinkan; sebatas dugaan semata. Fase meragu inilah yang menjadi pondasi bagi idealitas madzhab empirisme yang diimani oleh Ibn Khaldun.
Sebagaimana al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, perlawanan terhadap hegemoni logika klasik Aristoteles pun dilakukan oleh Ibn Khaldun. Hanya saja, Ibn Khaldun menjadikan perlawanannya atas mantik (yang terepresentasikan dalam konsep syakk
naqdiy-nya) sebagai titik tolak sekaligus inspirasi bagi upayanya dalam melakukan pembahasan atas kajian fenomena sejarah. Inilah yang membedakannya dengan para sarjana Muslim klasik lainnya yang hidup sebelum Ibn Khaldun. Para sarjana klasik Muslim sebelum Ibn Khaldun lebih banyak menggunakan “desakralisasi mantik” sebagai spirit pembaruan dan inovasi dalam diskursus seputar fikih dan kalam. Ia menyodorkan satu tesis bahwa sejarah tidak hanya sekadar penceritaan ulang atas peristiwa yang terjadi di masa silam.
Namun lebih dari itu, bahwa sejarah juga harus dipahami sebagai sebuah proses yang menyampaikan informasi berkaitan dengan sebab-musabab kejadian sebuah peristiwa. Kajian sejarah juga harus mau menyajikan anasir-anasir yang mendukung dan menghambat pergerakan sebuah peradaban yang telah lewat. Di dalam hal ini, terlihat Ibn Khaldun tengah masuk dalam sebuah kajian baru yang dalam era kontemporer, kita mengenalnya sebagai kajian filsafat sejarah yang oleh banyak sarjana Barat disematkan kepada filsuf berkebangsaan Italia, Vico.
Hebatnya, di tangan Ibn Khaldun, kajian historiografi mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan. Historiografi, galibnya, layaknya di benak para historian (sejarawan) klasik macam al-Thabari dan al-Mas’udiy selalu saja bermakna penceritaan ulang atas kisah-kisah nabi dan para raja. Para historian klasik menghabiskan berjilid-jilid kertas hanya untuk bercerita tentang keluarga raja dan para keturunannya. Sebagai deskripsi lanjutan, dapat penulis ketengahkan di sini komparasi model-model metode historiografi yang dianut oleh beberapa sejarawan klasik. Al-Thabari dalam pengantar buku sejarahnya yang klasik itu, Tarikh al-Umam wa al-Muluk menjelaskan bahwa dia hanya mencukupkan diri dengan menyalin secara utuh sebuah peristiwa tanpa disertai kritisisme atas transmisi dan redaksi. Sementara Abu al-Hasan Ali ibn al-Husayn al-Mas’udiy dalam pengantar untuk buku sejarahnya yang berjudul Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al-Jawahir
fi al-Tarikh, sedikit banyak telah melakukan terobosan baru dengan menyertakan nalar kritis dalam setiap penerimaannya terhadap sejarah.
Dan pada akhirnya, Ibn Khaldun menyodorkan alternatif dengan menjadikan historiografi lebih memfokuskan diri pada sejarah masyarakat dan peradabannya seraya menginformasikan konstruksi sebuah peristiwa dan sebab-akibatnya. Lebih dari itu, Ibn Khaldun (dengan tanpa mengurangi apresiasi pada historian generasi pertama macam Ibn Ishaq, al-Thabari dan al-Mas’udiy) mengecam keras madzhab narativisme (al-târîkh al-washfiy) yang menjadi mainstream para historian Muslim terdahulu.
Kegeraman Ibn Khaldun pada madzhab narativisme memang beralasan. Terlebih gaya narativisme ini lebih didominasi oleh ketundukan pada sumber data dan fakta historis. Para sejarawan klasik gagal dan enggan melakukan verifikasi terkait dengan data dan fakta historis. Dalam analisa Ibn Khaldun, kegagalan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, pencukupan atas data dan fakta historis yang tersedia dalam lingkup madzhabnya. Kedua, kepercayaan berlebihan terhadap narasumber. Ketiga, kegagalan memahami motif sebuah persitiwa sejarah. Keempat, keberpihakan yang kental pada tokoh-tokoh besar. Kelima, ketidakmampuan dalam memahami karakteristik sebuah komunitas. Kritik pedas Ibn Khaldun juga terlontar kembali kepada sederetan sejarawan klasik semodel Ibn Hisyam, Ibn Ishaq, al-Waqidiy, al-Baladzariy, Ibn Abdul Hakam al-Mishriy, al-Thabariy, al-Mas’udiy dan Ibn al-Atsir. Oleh Ibn Khaldun, mereka semua dianggap tidak dapat mensterilkan kajian historiografi sebagaimana yang termanifestasikan dalam buku-buku sejarah karya mereka dari mitos dan takhayul. Bagi Ibn Khaldun, buku sejarah yang ideal adalah buku yang enggan memuat cerita rekaan, mitos, dan khurafat. Bahkan, buku sejarah harus sepi dari cerita-cerita yang berlawanan dengan karakteristik masyarakat sekalipun.
Selain melakukan kritik, Ibn Khaldun tercatat melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan dalam buku-buku sejarah klasik. Sebagai misal, Ibn Khaldun menganggap data yang menyebutkan secara pasti angka tentara Bani Israil dan pengikut Musa dalam buku sejarah karangan al-Mas’udi sebagai kabar yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Ibn Khaldun berpendapat, informasi itu menyesatkan karena informasi tersebut terkait dengan jumlah bilangan. Kemudian ada al-Bakriy yang menceritakan sebuah mitos tentang keberadaan satu kota yang memiliki 10.000 gerbang. Cerita ini pun diyakini oleh Ibn Khaldun sebagai rekaan semata karena tidak adanya persesuaian dengan karakter masyarakatnya.Bagi Ibn Khaldun, aspek posibilitas dan imposibilitas sebuah sejarah dapat dibuktikan dengan pengetahuan yang memadai terhadap fenomena riil dan pemahaman secara mendalam agar dapat menemukan ciri khasnya serta sejauh mana tingkat kenisbiannya.
Di sini, terlihat Ibn Khaldun tengah menawarkan sebuah metode penceritaan sejarah yang lebih elegan bila disandingkan dengan madzhab narativisme. Metode yang dalam dunia historiografi kontemporer dikenal dengan metode strukturalisme; sebuah anti tesa atas metode narativisme. Dengan mengimani metode ini, Ibn Khaldun hendak menyampaikan kepada publik bahwa kajian sejarah yang ideal harus berdiri pada sebuah pondasi utama, yaitu upaya menyibak motif keberlangsungan sejarah. Dengan berpijak atas platform tersebut, akan dapat diketahui bahwa dalam setiap proses sejarah manapun terdapat kaidah-kaidah historis bersifat universal dan parsial. Selebihnya, sejarawan juga tidak hanya merasa cukup dengan kekayaan data dan fakta historis semata, namun punya kewajiban untuk memahami perangkat-perangkat lain sebagai alat bantu dalam proses penulisan sejarah.
2. Konsep Pemikiran Ibn Khaldun
Berawal dari keprihatinan terhadap sikap permisifisme para historian Muslim klasik yang tidak melakukan verifikasi data dan redaksi dalam kajian historiografi karena para sejarawan klasik buta dengan fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, Ibn Khaldun bersentuhan dengan masalah sosial. Keterbatasan historian Muslim atas modal pemahaman yang kuat atas karakteristik sebuah komunitas masyarakat menjadi penyebab kurang utuhnya dalam merekonstruksi suatu sejarah peradaban-peradaban Islam. Mereka mengkaji fenomena sebuah peradaban hanya dengan sekadar mendeskripsikannya, menganjurkan untuk menirunya atau bahkan memberikan gambaran dasar yang terkadang terkesan utopis. Bukan menganalisanya sehingga mampu menyibak tabiat atau karakter serta kaidah-kaidah yang eksis dalam peradaban tersebut.
Oleh karenanya, Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan idealnya berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri (Sui Generis). Satu disiplin ilmu yang belakangan dikenal dengan nama ilmu sosiologi. Berdasar fakta tersebut, banyak kalangan menganggap Ibn Khaldun sebagai “Bapak Ilmu Sosiologi”; jauh sebelum filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857) melakukannya.
Selain itu, keyakinan Ibn Khaldun pada gerak evolusi pada peradaban sebagai sebuah keniscayaan juga ikut berpengaruh dan membantu Ibn Khaldun dalam merumuskan teori-teori baru berkenaan dengan fenomena sosial kemasyarakatan. Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu karakteristik fenomena sosial kemasyarakatan tidak bergerak linear, apalagi monoton. Ia akan punya banyak varian terkait dengan ragam masyarakatnya. Bahkan akan mengalami ketidaksamaan pula, sekalipun dalam satu komunitas, jika terdapat perbedaan kurun dan waktu. Jika demikian, adalah sebuah kemustahilan terjadinya persamaan di dua komunitas dalam fenomena-fenomena sosial kemasyarakatannya.
Ibn Khaldun melandaskan kajian sosiologinya pada observasi atas fenomena masyarakat dalam sebuah bangsa atau negara, baik tingkat rawan konfliknya, korelasi dengan generasi sebelumnya dengan menganalisa beberapa ciri mendasar, yang juga mencakup interrelasi dan jalinan komunikasi. Untuk itu, Ibn Khaldun memformulasi metode sosiologinya pada dua tahapan. Pertama, studi empirik-induktif-historik (yang terejawantahkan dalam obervasi). Kedua, analisa mendalam guna menghasilkan konklusi berupa kaidah-kaidah. Maka dari itu, Ibn Khaldun lebih menekankan pada fenomena masyarakat sebagai sesuatu (entitas) yang eksis dan riil. Konsep Ibn Khaldun tersebut di kemudian hari menjadi pokok bagi madzhab Positivisme yang diimani oleh Auguste Comte dan Emile Durkheim. Dalam aliran Positivisme, fenomena masyarakat ditempatkan sebagai entitas riil, bukan sebagai “sesuatu” yang abstrak.
Dalam terobosannya, Ibn Khaldun mencoba mengkaji entitas masyarakat (peradaban) serta karakteristik yang melingkupinya. Baginya, entitas sebuah masyarakat dapat disingkap dengan menggunakan tiga piranti. Pertama, sebab-sebab kemunculan masyarakat. Kedua, pengaruh kondisi geografis pada proses pembentukan fisik maupun non fisik. Ketiga, pengaruh kekuatan metafisika terhadap kehidupan masyarakat. Dalam menelisik faktor pendorong kemunculan masyarakat, Ibn Khaldun mengawalinya dengan mengutip postulat Aristoteles yang menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia merupakan makhluk politik. Dengan politik manusia berupaya agar dapat bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mempertahankan diri.
Senada dengannya, Karl Marx menyatakan dengan teorinya bahwa masyarakat ialah susunan sosial dalam roduksi materiel merupakan dasar bagi seluruh kehidupan kemasyarakatannya. Marx memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonisstis. Dalam pandangannya, watak dasar ini ditentukan oleh hubungan konflik antara kelas-kelas sosial yang kepentingan-kepentingannya terkadang bertentangan. Demikian juga Emile Durkheim yang memandang konflik kelas sebagai ciri kehidupan masyarakat modern. Ia menganggapnya sebagai suatu patalogi sosial yang dapat disembuhkan melalui perombakan sosial. Oleh karena itu, menurutnya masyarakat dapat dikelola sedemikian rupa sehingga tidak terjadinya konflik diantara masyarakat dengan cara membuat dan memberlakukan hukum dan aturan yang mengikat masyarakat tersebut.
Konklusi semacam itu yang belum diungkap oleh para sarjana lain sebelum Ibn Khaldun. Kecenderungan materialisme dalam diri manusia mengakibatkan munculnya kesadaran bahwa mereka (manusia) tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa peran serta dari yang lain. Hal ini juga sependapat dengan Karl Marx bahwa nilai tertinggi yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya salah satunya adalah rasa kesadaran bahwa ia ada. Dan pada akhirnya, kesadaran untuk saling membantu melahirkan banyak varian peran kehidupan yang dapat dijalankan oleh masing-masing manusia agar saling melengkapi satu sama lainnya. Dampak langsung dari ragam fungsi sosial manusia sebagai instrumen asasi peradaban adalah terjadinya kesepakatan berupa aturan-aturan yang mengikat mereka semua.
Aturan-aturan tersebut dikodifikasi menjadi sebuah hukum yang diberlakukan kepada masyarakat. Hukum yang memang dibuat untuk melindungi masyarakat menjadikan masyarakat berperan menjadi lakon subjek sekaligus objek dari hukum itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat menduduki posisi sentral dalam hukum. Setiap kelompok masyarakat selalu ada permasalahan sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual antara standar dan yang praktis.
Fungsi hukum disini ialah untuk menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sesuatu yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi dari masyarakat itu sendiri.
Tak luput dari bidikan Ibn Khaldun adalah kajiannya terhadap fenomena sosial dengan mengambil sudut pandang pada kaidah-kaidah dan persepsi universal yang menjadi pokok dan dasar dalam pengaturan masyarakat serta kohesi sosial. Salah satu kaidah tersebut adalah kaidah yang berkenaan dengan konstruksi atau struktur luar masyarakat. Kaidah inilah yang oleh madzhab Emile Durkheim disebut sebagai “La Morphologie Sociale” yang diklaim diperkenalkan oleh Durkheim. Secara substantif, tesis itu bukanlah barang baru. Terlebih Ibn Khaldun telah mengintrodusirnya jauh-jauh hari dalam Muqaddimah-nya.
Ibn Khaldun juga mampu mendeskripsikan dengan akurat sejarah perkembangan masyarakat (peradaban). Bagaimanapun model konstruksi peradabannya, dalam benak Ibn Khaldun, ia takkan terlepas dari konsep sejarah perkembangan masyarakat yang dicetuskannya. Olehnya, sejarah perkembangan masyarakat dipetakan menjadi tiga tahapan. Yang paling natural adalah fase primitif atau nomaden (al-Tawahhusy), kemudian memasuki fase tradisional (al-‘Umran al-Badawi) dan terakhir, fase al-‘Umran al-Hadhariy (masyarakat sipil; sedentary societies). Umur ketiga fase tersebut, amat tergantung pada tingkat produktivitas perekonomiannya. Tak mengherankan, jika Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa syarat asasi bagi eksistensi sebuah masyarakat adalah adanya jaminan bagi hak milik individu sebagai manifestasi sistem perekonomian parsial. Berdasarkan pada konsep jaminan keamanan bagi hak milik individu, Ibn Khaldun membangun teori-teori ekonominya, utamanya teori tata negara dan politik.
Bagi Ibn Khaldun, jaminan atas hak milik individu dapat terlaksana jika sistem politik dalam masyarakat tersebut telah tersedia. Wujud dari berjalannya sistem politik-kekuasaan adalah adanya pemimpin yang kebijakannya melahirkan hukum yang dipatuhi oleh segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks peradaban masyarakat, sistem politik kekuasaan, terutama terkait dengan prosesi pengangkatan pemimpin mempunyai korelasi kuat dengan konsep ashabiyyah (fanatisme), selain kedua faktor lainnya yakni faktor ekonomi dan agama, terlebih jika tipe masyarakat tersebut adalah masyarakat tradisional (al-Mujtama’ al-Badawiy). Jabiri, dalam disertasinya yang berjudul al-‘Ashabiyyah wa al-Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikh al- Islâmî juga memberikan afirmasi yang senada. Dengan meminjam piranti “bawah sadar politik”-nya Regis Debray, Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa ada tiga hal penting di balik bangunan nalar politik Arab-Islam yaitu kabilah, akidah dan ghanimah. Bagi penulis, tiga faktor tersebut, sejatinya merupakan pengulangan atas konsep Ibn Khaldun walau dengan redaksi yang berbeda. Ibn Khaldun membahasakannya dengan ashabiyyah, al-da’wah al-diniyyah dan madzhab fil ma’âsy ghairat thabî’i.
Dengan mengacu pada konsep ‘ashabiyyah-nya, dia meyakini bahwa syarat klan Quraisy tersebut muncul karena seorang pemimpin membutuhkan legitimasi yang kuat dalam melaksanakan amanat undang-undang. Dan legitimasi politik saat itu hanya bisa diperoleh dari klan Quraisy yang notabene merupakan suku terkuat. Jika demikian, ketika dominasi tidak lagi berada di tangan Quraisy, maka faktor ‘ashabiyyah yang akan mampu menjadi determinannya.
KESIMPULAN
Dalam pemikirannya, Ibn Khaldun dapat disajikan dalam beberapa point sebagai berikut:
- Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan idealnya berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri (Sui Generis). Satu disiplin ilmu yang belakangan dikenal dengan nama ilmu sosiologi. Berdasar fakta tersebut, banyak kalangan menganggap Ibn Khaldun sebagai “Bapak Ilmu Sosiologi”; jauh sebelum filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857) melakukannya.
- Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu karakteristik fenomena sosial kemasyarakatan tidak bergerak linear, apalagi monoton. Ia akan punya banyak varian terkait dengan ragam masyarakatnya
- Ibn Khaldun memformulasi metode sosiologinya pada dua tahapan. Pertama, studi empirik-induktif-historik (yang terejawantahkan dalam obervasi). Kedua, analisa mendalam guna menghasilkan konklusi berupa kaidah-kaidah. Maka dari itu, Ibn Khaldun lebih menekankan pada fenomena masyarakat sebagai sesuatu (entitas) yang eksis dan riil.
- Kecenderungan materialisme dalam diri manusia mengakibatkan munculnya kesadaran bahwa mereka (manusia) tidak dapat mempertahankan eksistensinya tanpa peran serta dari yang lain yang pada akhirnya, kesadaran untuk saling membantu melahirkan banyak varian peran kehidupan yang dapat dijalankan oleh masing-masing manusia agar saling melengkapi satu sama lainnya. Dampak langsung dari ragam fungsi sosial manusia sebagai instrumen asasi peradaban adalah terjadinya kesepakatan berupa aturan-aturan yang mengikat mereka semua.
- Wujud dari berjalannya sistem politik-kekuasaan adalah adanya pemimpin yang kebijakannya melahirkan hukum yang dipatuhi oleh segenap lapisan masyarakat.
Pada intinya, pemikiran sosiologi pada dasarnya bukan dari bangsa barat saja, melainkan dari dunia Islam. Jauh sebelum para sosiolog merumuskan pemikirannya, Ibn Khlaadun telah lebih dulu menemukan arah pemikirannya yang sangat sosiologis. Hanya saja, perhatian generasi muslim setelahnya kurang terhadap pemikirannnya dalam sosiologis. Meskipun demikian, masih banyak masalah-masalah sosiologi hukum, khususnya mengenai kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang masih kental dengan pengaruh kapitalisme dan kelas sosial di mata hokum Indonesia. Selain itu, banyaknya penyakit sosial yang merajai Indonesia meberi tugas tersendiri bagi para ahli hokum di Indonesia untuk mengikatnya dengan hukum dan mengelola agar terjadi keharmonisan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Masalah-masalah ini sebenarnya telah dibahas oleh beberapa tokoh di atas, namun, pada kesempatan ini penulis tidak mencantumkan karena keterbatasan waktu dan data.
DAFTAR PUSTAKA
Zaldy Munir, Ibnu Khaldun. Bapak Sosiologi Islam, yang dikutipanya dari Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970
A.A. Peters, Koesriani Siswisoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, jilid I, cet. I, 1988
Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 3
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985
Mawhiburrahman, Membumikan Gagasan Ibn Khaldun (Sebuah Pembacaan atas Konsep Sosiologi dan Filsafat Sejarah), yang dikutipnya dari Thaha Husain, (2006), Falsafat Ibn Khaldun al-Ijtima’iyyah; Tahlil wa Naqd, Cairo: al-Hay’at al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Khaldun, Ibnu, Tentang Masyarakat dan Negara, Osman Raliby (terj), Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Husain, Falsafat Ibn Khaldun al-Ijtima’iyyah; Tahlil wa Naqd, Cairo: al-Hay’at al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2006
Mishbah al-Amiliy, (1988), Ibn Khaldun; wa Tafawwuq al-Fikr al-‘Arabiy ‘ala Fikr al-Yunaniy bi Iktisyafi Haqa’iq al-Falsafah, Cet. I, Tripoli: al-Dar al-Jamahiriyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’ wa al-I’lan